Selasa, 07 September 2010

Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal

Tanda Cinta

Cocobi ka diri
Sanes pamasihan ti Nini Aki
Tapi pamasihan ti nu Maha Suci
Tanda Cinta-Na nu sajati

Sabar..., tawakal...., ikhlas...,
kudu jadi pamatri ati
Sangkan hirup teu ngarasula tur jadi kifarat dosa!

Senin, 06 September 2010

SINOPSIS

Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal
     
     Di tengah perjalanan hidupnya sebagai seorang guru di sebuah SMP di Banyuresmi, kabupaten Garut, penulis yang dikenal rajin, penuh dedikasi, periang, sangat mencintai keluarga dan kuat mempertahankan aqidahnya, tiba-tiba penyakit yang dikenal dengan nama Gagal Ginjal Terminal atau Gagal Ginjal Kronik. Penyakit ini sangat ditakuti, karena belum ada obatnya. untuk mempertahankan hidup penderitanya harus dilakukan terapi ginjal pengganti berupa cuci darah(hemodialisis) atau cangkok ginjal.
     Kisah ini, benar-benar menceritakan autobiografi penulis dengan gamlang, sesuai dengan kejadian yang dialami penulis saat divonis mengalami gagal ginjal kronik, tentang penderitaannya, pencarian obat alternatif, pahit-getirnya menjalani cuci darah, keikhlasannya menerima cobaan, kecintaannya pada keluarga, semangatnya untuk terus bisa bertahan hidup, sampai Alloh memberikan jalan keluar,"Ginjal Cadangan"  berupa CAPD.
     CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau Peritoneal Dialisis Mandiri Berkesinambungan adalah pergantian cairan yang dimasukkan ke dalam perut seberat 2 kg, dilakukan secara rutin dan kontinu sebanyak 3-4 kali setiap hari, sebagai pengganti ginjal yang sudah rusak dan tidak berfrungsi.
     Karena keyakinannya atas cinta, kasih sayang dan pertolongan Alloh Swt semata, yang pada akhirnya menyelamatkan penulis untuk terus hidup dan semangat mempertahankan aqidah dari kemusyrikan dan mencari kesembuhan sampai menemukan sahabat setianya berupa CAPD. Penulis yakin dengan haqqul yakin, bahwa Allohlah sebagai penolong jiwanya dan hidupnya bertujuan hanya untuk mencari ridho Alloh Swt semata. Amiiiin!

     
 

Minggu, 05 September 2010

Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal

Mungkin Anda akan tertawa membaca ungkapan tadi, terserah! Aku tidak akan peduli dengan tanggapan atau reaksi spontan Anda.Yang jelas, “Gagal Ginjal” bagiku adalah peristiwa yang menenggelamkan hidupku dalam penderitaan yang berkepanjangan tiada henti sampai akhir hayat.
Empat setengah tahun silam hidupku mulai kelam, Subhanallah ………………..
Berawal dari hasil tes laboratorium pada tanggal 20 Februari 2006 yang dianalisis oleh dr. John Manurung, SpPD. Ia menyatakan bahwa kadar racun yang bersarang dalam tubuhku terlalu banyak dan tidak bisa dikeluarkan lewat urine (air seni). Tak ada jalan lain kecuali Cuci Darah. Penyakit tersebut bernama Gagal Ginjal Terminal atau Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Shock, stres, putus asa dan seabreg perasaan negatif menghimpit dada. Aku bersama istri tercinta terperangkap dalam situasi mencekam di hadapan dokter yang masih memberikan segala macam petuah dan nasihat. Sudah terbayang di benakku, sebelah kaki di atas kubur, karena aku tahu setiap orang yang telah mengalami cuci darah pasti ajalnya hampir menghampiri. Isak tangis kami berdua tak bisa menyelesaikan masalah.
Pulang dari RSU dr. Slamet Garut dengan perasaan hampa, hanya istriku yang masih bisa berpikir jernih. Dia berusaha menghubungi saudaranya, sahabatnya, kenalannya dan setiap orang yang mungkin lebih tahu atau pernah tahu tentang cuci darah dan pengobatan alternatif lainnya untuk penyakit gagal ginjal terminal.
Berbagai macam metode penyembuhan melalui obat, ramuan, pijat refleksi, elektrolisis, bekam, sampai menjadi konsumen dan anggota MLM ramuan modern dari Cina yang harganya mencapai 500 ribuan per-box pernah dicoba. Hasilnya nihil, bahkan tambah parah. Maksud untuk menghindari cuci darah tidak bisa dihindari.
Tubuhku semakin parah.Wajah, kaki dan hampir seluruh tubuhku bengkak. Kepala serasa ditusuk-tusuk ribuan paku. Seluruh persendian serasa mau lepas. Napas sesak, karena paru-paru hampir terendam cairan dan kerja jantung pun makin berat. Mual terus menerus sehingga muntah tak bisa di tahan. Badanku semakin lesu dan kehabisan energi.


Akhirnya aku pasrah berbaring disamping mesin cuci darah mulai tanggal 18 April 2006. Empat selang membelit tubuh, 2 selang cuci darah, 1 selang tranfusi darah dan 1 lagi selang oksigen untuk membantu nafas yang sudah sesak.
Dunia yang tadinya terasa gelap berangsur bersinar lagi. Nafas tidak lagi tersengal-sengal, jantung mulai berdetak normal, setelah 2 jam pertama menjalani cuci darah. Harapan hidup lebih lanjut pun  mulai tumbuh lagi, namun dalam limit waktu 3 – 4 hari, karena cuci darah itu harus dijalani secara kontinyu 2 kali dalam seminggu, seumur hidup.
Anda tahu batas waktu seumur hidup? Itulah yang jadi masalah bahwa, gagal cinta pertama tak separah gagal ginjal. Gagal cinta pertama tak merepotkan semua orang yang berada di sekitar Anda, tapi gagal ginjal bisa merepotkan seluruh keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan. Bahkan akibat lainnya karir Anda, jabatan dan masa depan suram menanti Anda! Anda harus siap dengan mental cadangan Anda, belum lagi materi, kantong yang sangat-sangat tebal harus Anda siapkan. Kita memang memiliki 2 buah ginjal, tetapi jika sudah dinyatakan gagal ginjal berarti keduanya sudah tidak bisa berfungsi. Sulit untuk mencari ginjal pengganti, tak ada super market yang menjual ginjal. Berbeda dengan gagal cinta pertama, kita masih bisa mencari cinta kedua, ketiga bahkan cinta terakhir yang biasanya lebih membahagiakan. Gagal ginjal belum ada obatnya, sedangkan gagal cinta ada obatnya, yaitu cinta terakhir.
 Mau tahu kelanjutan kisahnya?  Silakan baca kisah selanjutnya …!
 
Gelarku

Siapa yang mengira aku akan menderita GGK, tak seorang pun yang tahu, hanya Allah Swt lah yang Maha Mengetahui. Badanku segar, energik dan kuat. Sampai usia 39 tahun, karirku cerah. Di masa depan aku membayangkan bisa menjadi pejabat di Dinas Pendidikan, karena di usia sekarang pun aku sudah dipercaya sebagai Pembantu/Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, disamping tugas pokok mengajarkan Bahasa Indonesia dan Wali Kelas di kelas 3 SMP Negri 1 Banyuresmi, Garut.
Sejak aku menjadi guru honorer tahun 1988 sampai diangkat menjadi PNS dua tahun kemudian. Aku tak pernah pindah tempat tugas. Kegiatanku banyak sekali, selain mengajar juga selalu mencari penghasilan tambahan, obyekkan, di luar jam kerja. Kerja tambahanku apa saja, yang penting halal. Oleh karenanya, aku mendapat banyak gelar dari profesi tambahan itu, walaupun aku belum menjadi sarjana.
Mau tahu apa saja gelarku? Ini dia…………….
Yang pertama, Asep Rongsok. Gelar tersebut didapat karena di awal kehidupan berumah tangga, aku memulai dengan bisnis rongsokan. Mengumpulkan barang bekas lalu dijual. Tak ada rasa gengsi, yang penting dapur tetap mengepul. Semua barang bekas aku kumpulkan mulai dari kertas, dus, koran, plastik, besi tua, botol kecil sampai botol besar, dan sebagainya.
Rencanaku ingin menampung dan membuka lapangan pekerjaan bagi remaja di kampung sekitar tempat tinggalku. Tapi ternyata mereka terbelenggu dengan rasa gengsi. Berbulan-bulan bisnis ini berjalan, aku kerjakan sendiri dan tak ada seorang pun yang mau menjadi pemulung barang rongsokan.
Akhirnya bangkrut!
Yang kedua, Asep Cacing. Bisnis cacing menggiurkan. Aku beternak cacing-cacing itu sendiri di rumah, dan menjualnya ke pengumpul atau penampung. Memang aku berhasil di bisnis ini. Beberapa kali menjual cacing sehingga keuntungan berjuta-juta pun didapat. Namun sayang, terjadi booming dan kemacetan ekspor. Akhirnya gelar Asep Cacing tidak bertahan lama, walau aku berusaha memperpanjang usia bisnis ini dengan membuat jus cacing sebagai obat tifus, maag, panas dalam dan sakit gigi. Tapi tidak sampai jadi obat gagal ginjal saja.
Yang ketiga, Asep Camat. Dari gelar ini, hanya capek yang dirasakan. Aku harus bolak-balik mengawinkan kesepakatan harga antara penjual dan pembeli barang atau kendaraan bekas seharian. Bahkan ada yang berminggu-minggu rasa capek sirna begitu saja, jika telah mendapat keuntungan yang besar. Ya, itulah pekerjaan camat (calo matuh). Keuntungan didapat dari komisi yang besarnya tergantung pada kerelaan si penjual atau dari selisih harga yang disepakati bersama.
Yang keempat, Asep Ginjal. Sejak mengidap penyakit GGK inilah aku mendapat gelar Asep Ginjal, karena di daerahku terbilang jarang orang yang mengalami GGK ini. Gelar ini tidak bertahan lama, hanya kurang lebih 4 bulan saja. Dimulai sejak aku menjalani cuci darah pada April sampai Agustus 2006.
Selanjutnya gelar kelima dan terakhir adalah Asep CAPDCAPD akan kita bahas nanti, karena memiliki kisah tersendiri, oke?
Jangan heran! Mengapa aku menguraikan gelar /sebutan lain untuk diriku? Karena di tempat tinggalku, Kampung Cianten, Desa Sukamukti, Kecamatan Banyuresmi, Garut, terdapat sekitar 23 nama orang yang berawal dengan kata Asep. Jadi, kalau mencari nama Asep itu, harus komplit dengan kepanjangan namanya. Sebagai contoh nama Asep yang lain adalah: Asep Furqon, Asep Fitroh, Asep Nawawi, Asep Dani, Asep Dedi, Asep Saefullah, Asep Subarna, Asep Wawan dan masih banyak Asep yang lainnya.

Awal  Perkenalan Saya dengan Gagal Ginjal Kronik

Ini merupakan pembahasan yang sangat penting bagi siapa saja yang membaca tulisan saya, agar lebih bisa berhati-hati dan yang lebih penting adalah bisa mencegah daripada mengobati.
Peribahasa lebih baik mencegah daripada mengobati merupakan peribahasa yang tepat sekali. Orang yang mengalami sakit  kemudian berobat masih beruntung kalau sudah ada obatnya, tetapi sungguh malang nasibnya jika sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Maka dia akan menderita seumur hidup sampai ajalnya tiba sambil menderita penyakit yang dideritanya. Sungguh mengerikan, tetapi itulah penyakit yang dinamakan GGK (Gagal Ginjal Kronik) atau Gagal Ginjal Terminal.
Tiga tahun sebelum divonis GGK, aku sering merasa heran dengan urin (air seni) yang ke luar itu berbuih banyak sekali. Setiap buang air kecil, aku harus menyiram kloset minimal empat kali (empat gayung air). Kalau hanya dua atau tiga gayung, masih saja terdapat buih seperti sabun.
Hampir setiap malam badanku seperti orang yang masuk angin. Pegal-pegal di sekujur tubuh dan perasaan ngilu di otot. Badan akan terasa enak kalau telah diinjak-injak oleh anak atau istriku. Lebih enak lagi kalau dipijat dengan memakai minyak angin. Ploooong……sekali rasanya.
Setahun kemudian, keluhan bertambah dengan sering sakit kepala dan di bagian punggungku terdapat bintik-bintik hitam seperti bekas terbakar bara rokok. Rasanya agak gatal.
Pada akhir tahun 2004, aku merasakan nyeri yang hebat di perut bagian kanan. Dari hasil pemeriksaan dokter aku dinyatakan infeksi usus buntu (apendisitis). Usus buntu (apendiks) harus segera diangkat. Operasi berjalan lancar. Aktifitasku  berjalan normal kembali.
Kurang lebih enam bulan setelah operasi apendiks, rasa nyeri kembali singgah, sama seperti ketika dinyatakan aku menderita apendisitis. Nyeri yang sangat dahsyat. Aku tak bisa diam menahan rasa sakit, buah zakar rasanya seperti dipijat terus menerus. Setiap ingin buang air kecil terasa nyeri sekali. Aku tak tahan. Bukan urin yang keluar, malah darah dan airmata yang keluar.
Obat penghilang nyeri tidak ada yang mujarab, rasa nyeri terus mendera. Istriku sudah panik. Begitu juga orangtuaku, tetangga dan saudara-saudara. Mereka berdatangan melihatku yang bertindak seperti orang kesurupan, menjerit-jerit minta tolong.
Beruntung, sahabatku Mang Ujang dan Pak Jejen yang baik hati segera membawaku ke Rumah Sakit Guntur di Garut. Tim medis segera bertindak dengan memberi obat penghilang rasa nyeri melalui anus. Kaltopren, nama obat itu, bentuknya seperti peluru pistol.
Selama menanti reaksi itu, aku menjerit dan melolong-lolong dengan suara yang melengking tinggi mengucapkan “Allaahu Akbar!” Seluruh pasien yang berdekatan dengan ruang ICU pasti mendengar, padahal saat itu sudah hampir pukul 24.00
Alhamdulillah, kurang lebih 20 menit kemudian, obat yang diberikan itu bereaksi, rasa sakit yang menghunjam itu berangsur-angsur reda sampai tidak terasa lagi.
Besoknya aku menjalani pemeriksaan tes kesehatan. Rontgen, tes darah dan tes urin dilakukan. Hasilnya menerangkan tidak terlihat adanya batu pada ginjal ataupun saluran pembuangan lainnya. Namun kadar asam uratku agak lebih dari normal.
Aku pulang. Dokter hanya memberikan obat penghilang rasa sakit, peluruh batu dan penurun asam urat. Setelah sampai di rumah, adikku yang menengok menyarankan untuk mengkonsumsi obat asam urat terus sampai kadar asam uratku normal kembali serta melakukan tes urin lagi secara teratur. Tapi aku merasa malas untuk minum obat terus-terusan dan kembali periksa ke laboratorium ataupun dokter.
Beberapa bulan setelah kejadian itu. Kondisi kesehatanku menjadi fluktuatif, antara sehat dan sakit. Susah buang air kecil sering berulang, terutama kalau telah makan jeroan, emping, jengkol, petai, durian dan sayur asem yang pakai daun atau buah tangkil. Aku juga sering sekali sakit flu disertai demam, tetapi selalu diselesaikan dengan mengkonsumsi obat-obat bebas yang dijual di warung. Hampir setiap malam badanku yang pegal-pegal harus dipijat oleh anak dan istriku. Aku malas memeriksakan diri ke dokter, dan tak mempedulikan saran adikku dulu sewaktu baru pulang dari rumah sakit.
Pertengahan tahun 2005, aku menemukan obat asam urat yang dijual di toko obat, Ant namanya. Kapsul jamu asam urat Ant ini mujarab sekali. Rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum itu hilang sama sekali, sakit encok, rematik dan kawan-kawannya itu lewat begitu saja. Aku yang alergi dingin dan setiap hari harus mandi memakai air hangat, kembali bisa mandi memakai air dingin. Bahkan kembali bisa meronda malam, ikut kegiatan camping dengan anak-anak di sekolah dan seabreg kegiatan sekolah lainnya, walaupun harus menginap bermalam-malam di sekolah.
Adikku, Sumi Azizah, yang apoteker dan tinggal di Bandung beberapa kali datang ke rumah,  menegur dan memberitahuku bahwa obat Ant itu adalah obat illegal dan bukan obat herbal asli dari tumbuhan Ant, tetapi obat kimia anti nyeri dosis tinggi yang kalau dikonsumsi terus bisa berakibat fatal bagi ginjal. Dia berceramah dihadapanku berpuluh-puluh menit, dan melarangku minum obat tersebut.
Aku percaya dan sedikit ketakutan. Aku berhenti mengkonsumsinya sekitar dua minggu. Rasa sakit yang dulu, muncul lagi bahkan bertambah hebat. Aku tak tahan.
 Ant kembali menjadi teman hidupku saat itu. Hanya dengan minum kapsul itu, kehidupanku kembali berjalan normal, padahal mungkin saat itu ginjalku sudah mulai rusak.    


Tak Ada yang Lebih Pintar dari dr. Jhon Manurung

Hari Senin, 20 Februari 2006, badanku terasa lesu sekali, tak bergairah. Saat istirahat aku jajan kupat tahu. Jajanan favorit para guru sebagai kaum duafa. Karena murah meriah dengan uang seribu rupiah perut bisa kenyang. Kupat tahu Bu Oom yang biasanya terasa lezat, gurih dan nikmat kini terasa pahit di lidah. Aku heran. Aku berpikir, “Jangan-jangan tahunya pakai formalin, karena saat itu orang sedang heboh dengan tahu berformalin?” Aku sisihkan tahunya kemudian  aku makan ketupatnya tapi tetap saja ketupatnya juga terasa pahit. Aku tambah kaget. Kemudian  aku bercermin sambil menjulurkan lidah, penasaran dengan hilangnya rasa pencecap. Benar saja, lidahku  terlihat putih, diliputi jamur, bakteri, atau apalah aku tak mengerti. Yang jelas, biasanya orang yang sakit tifus kronis lidahnya seperti ini.
Aku bertambah kaget dengan kondisi lidah seperti orang sakit tifus, tapi badan tidak panas, hanya lesu saja. Aku tanya Pembina PMR, Ibu Siti.
Bu Siti menceramahiku agar segera memeriksakan diri ke dokter, “Pak Asep, Bapak itu sakit. Cepat periksa ke dokter. Jangan dibiarkan begini, agar cepat ketahuan penyebabnya dan cepat diobati!”
Sore hari aku pergi ke dokter umum di PUSKESMAS. Aku diberi obat.
Besoknya, aku kembali pergi ke sekolah. Selesai mengajar jam ke-2, aku ke toilet, karena ingin buang air kecil. Kencingku mampet lagi. Aku menyuruh penjaga sekolah untuk mengambil obat pencahar batu, “Kalkurenal”. Aku minum sesuai dosis. Wajahku sudah pucat, menahan rasa nyeri yang tak terperikan.
Rekan-rekan guru banyak yang menyuruhku pulang agar isirahat di rumah. Tapi aku masih bertahan. Aku sudah terbiasa kerja sampai sore. Jadi, aku tak biasa pulang ke rumah pagi-pagi atau siang-siang. Banyak tugas yang harus kukerjakan selain tugas mengajar pokok. Ada ekstrakurikuler dan les tambahan pelajaran untuk siswa kelas 3.
Menjelang Dzuhur aku ke toilet lagi. Alhamdulillah, saat aku kencing ada butiran batu yang keluar sebesar biji kacang kedelai. Walau rasa sakit yang tak terperikan saat keluar 4 butiran batu itu, tapi rasa plong yang melegakan dapat menjadi pelipur hati, setelah bolak-balik ke toilet, karena susahnya buang air kecil.
Hari itu aku lanjutkan tugasku sampai sore dengan memberikan les tambahan jam pelajaran bagi siswa kelas 3.
Pulang ke rumah badanku sudah terasa pening, mual dan nyeri persendian. Malam harinya badan mulai terasa demam dan kepala serasa hampir pecah.
Aku telepon Sumi, adikku yang berada di Bandung. Aku menerangkan segala gejala yang terasa. Dia langsung mencurigai ginjalku rusak dan menyarankan cek ke laboratorium sambil berobat ke dokter spesialis dalam, jangan ke dokter umum. Sejak hari Rabu, 22 Februari 2006, badanku ambruk tak bisa kemana-mana. Seluruh persendian terasa copot. Mual yang hebat bahkan lebih dahsyat dari sakit maag yang pernah kualami, kepala terasa dipaku. Aku bertahan di rumah sampai hari Minggu. Baru hari Senin aku pergi ke RSU Garut.
Dr. John Manurung menyuruhku agar melakukan tes urine, darah dan rontgen. Hasilnya, Kreatinin 7,57, Ureum 114, Asam urat 13,8, Hb 10,8. Aku dianjurkan agar diet protein dan buah-buahan. Dicoba selama 2 minggu, aku tidak boleh makan makanan yang berprotein dan buah-buahan. Aku hanya diperbolehkan makan dari golongan makanan karbohidrat saja.
Bisa anda bayangkan, lidahku yang kehilangan rasa malah tiap saat hanya boleh makan karbohidrat saja. Jadi, mulai saat itu aku sadar, bahwa kenikmatan hidupku sudah dikurangi oleh Allah Swt. Yang memiliki segala rasa nikmat. Tiap hari paling-paling aku makan nasi dengan kerupuk, ranginang, jagung beledug atau makan ubi Cilembu.
Dua minggu yang dijanjikan dokter sudah lewat. Aku memeriksakan diri lagi ke dr. John. Obat yang kuminum selama dua minggu hasilnya nihil. Aku harus menjalankan diet itu 2 minggu lagi.
Selain dari dr. John, aku juga kasak-kusuk ke sana-ke mari mencari alternatif lain. Berbagai jamu, ramuan obat tradisional sampai jamu herbal X, perusahaan top MLM terbesar di Cina, aku konsumsi. Habis jamu herbal X sampai Rp.2 juta, tidak ada hasilnya. Badanku malah sudah mulai bengkak-bengkak.
Tanggal 20 Maret 2006, aku memeriksakan diri lagi ke dr. Jhon Manurung. Hasil tes darah dari laboratorium dan USG, dr. John memvonis bahwa ginjalku mengalami pengerutan/pegecilan volume ginjal. Aku harus menjalani cuci darah!
 Masih terngiang di telingaku  ketika dr. John berkata,” Bapak harus sabar, begitu juga Ibunya, karena Bapak harus menjalani cuci darah di Bandung. Beruntung, Bapak punya Askes, kalau orang lain belum tentu. Tindakan Bapak sudah tepat datang kepada saya. Tolong jangan percaya kepada orang lain yang mengaku lebih pintar dari dr. John.” kata-katanya begitu tandas dan meyakinkan.
Aku dan istri masih tak percaya dengan keputusan dokter bahwa aku harus cuci darah, walaupun doker menyarankan agar cepat mengambil keputusan.
Bumi terasa gelap, dada sesak, otak tak bisa lagi berpikir logis. Perasaan hampa. Kematian rasanya sudah dekat. Mata sembab, bengkak dan merah. Badanku lesu, lunglai tak bertenaga, cemas resah, rasa bersalah, rasa berdosa dan segala rasa nyeri, yang tak bisa lagi terperikan dengan kata-kata. Aku tak bisa menyanggupi perintah dokter, agar aku menjalani cuci darah.
Datang ke rumah pun sama, perdebatan sengit terjadi antara istri, orang tua, adik-adik, anak-anak dan sahabat-sahabatku. Mereka semua tak percaya kalau aku harus cuci darah.
Aku masih bertahan dengan menkonsumsi obat X, karena janjinya bisa menyembuhkan penyakit ginjal. Tapi saat aku kontak semua distributor sampai ke pusat yang ada di Jakarta dan aku tanyakan, “ Siapa orangnya yang sudah divonis gagal ginjal dan menjalani cuci darah bisa sembuh dengan obat X tersebut ?”. Ternyata tak ada seorang pun yang bisa membuktikannya. Seandainya ada seorang pasien gagal ginjal yang sudah sembuh, maka akan aku kejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Untuk membuktikan dan meyakinkan diriku yang sudah mulai gundah gulana.
Akhirnya tanggal 5 April 2006, aku cek darah lagi di laboratrium, ternyata kadar racun di tubuh malah bertambah menjadi Kreatinin 7,81, Ureum 142, Asam Urat 14,6, dan Hb 5,0. Aku sudah tak tahan dengan rasa sakit dan pasrah untuk menjalani cuci darah. Aku meminta tolong kepada istriku agar menemui lagi dr. John untuk meminta surat rujukan ke Bandung dan segala persyaratan Askes lainnya. Tekadku sudah bulat, cuci darah!
Benar saja, sabda dr. John, “Jangan percaya kepada siapapun di sekelilng Anda, jika ada yang mengaku-ngaku lebih pintar dari dr. John!” terbukti. Tiap orang yang memberikan solusi dan obat untuk gagal ginjal dari sahabat, kerabat dan orang-orang dekat lainnya tak ada yang mujarab. Berarti aku harus mempercayai dr. John. Saat ini, satu-satunya obat hanyalah cuci darah.

Jurig

Sesaat sebelum pergi ke Bandung, Sumi Azizah adikku, menyarankan agar mencoba berobat ke dr.Rully Roesli, ahli ginjal, untuk menghabiskan rasa kepenasaran. Usulan tersebut akhirnya disepakati juga. Kami berangkat ke Bandung pada hari Jumat, 7 April 2006.
Baru saja duduk, dr. Rully sudah mempertanyakan mengapa aku baru datang berobat kepadanya, padahal seharusnya 3 tahun yang lalu. “Anda seharusnya datang kepada saya 3 tahun yang lalu!”, katanya.
Aku heran,” Kok, dokter tahu bahwa saya ini sakit sejak tiga tahun lalu?”.
“Saya sudah pengalaman, dengan cara melihat Anda berjalan dan melihat wajah Anda saja, saya sudah tahu bahwa penyakit Anda itu sudah diderita sejak 3 tahun yang lalu. Ya, karena berdasarkan dari pengalaman itulah kadang-kadang seorang dokter tindakannya seperti dukun, bisa meramal”, begitu dia menjawab pertanyaanku sambil tertawa terbahak-bahak.
Ruangan dr. Rully yang luas, bersih, adem, harum dan diiringi musik yang mengalun merdu komplit dengan sikapnya yang ramah, murah senyum bisa memberikan rasa optimis.
Aku disarankan minum obat dulu selama 2 minggu.
Bukan hanya aku yang merasa gembira, tapi juga istri, anak-anak, orang tua, adik-adik dan sahabat-sahabatku. Wajah yang sudah kebingungan, stress, was-was mendengar keputusan dr. Rully yang demikian sedikit melegakan, walaupun resepnya hampir Rp.700 ribu.
Obat dari dr. Rully yang seharusnya aku minum untuk 2 minggu, ternyata tidak mampu mengubah keadaan. Badanku makin loyo, wajah sudah bengkak, mata memerah, kepala sakit tak terperikan lagi, mual terus-menerus. Baru 10 hari, aku memaksa kembali lagi pergi ke tempat dr. Rully berpraktek di Perisai Husada.
Senin 17 April 2006, pukul 20.00 WIB, aku adukan seluruh keluhanku kepada dr. Rully. Dia memeriksaku dengan teliti. Napasku sudah terengah-engah. Mata terasa buram dan menonjol ingin meloncat dari kelopaknya. Detak jantung serasa tak beraturan lagi. Denyut nadi di leher terasa meletup-letup. Kepala rasanya mau pecah seperti gunung berapi yang mau meletus.
Selesai memeriksa dr. Rully malah memberikan lagi resep. Aku masih sempat berpikir, buat apa lagi resep? Obat yang sepuluh hari lalu saja, mahalnya bukan main, tapi hasilnya tidak ada sama sekali. Malah tambah parah.
 Adik dan istriku yang selalu setia mendampingi, diam saja. Aku protes dan tak mengerti akan tindakan dokter seperti itu. Akhirnya dengan segenap keberanian dan sisa-sisa akal sehat, aku bertanya juga, “Maaf,Dok! Apakah dengan resep yang Dokter berikan, sakit saya bisa sembuh? Kemarin juga dengan resep dari dokter yang seharusnya 2 minggu, malah hanya bisa bertahan 10 hari !”.
dr. Rully tidak menjawab langsung, dia merogoh laci mejanya dan mengeluarkan setumpuk kartu berobat. “Lihat ini,Pak!”, jawabnya, “Ini katu berobat pasien saya sejak tahun 1993 sampai sekarang. Berarti kurang lebih sudah 13 tahun dia berobat kepada saya 2 minggu sekali, rutin”.
“Sampai sekarang belum sembuh? Bagaimana keluhannya hilang?” aku memberondong dengan pertanyaan, karena penasaran.
“Nah, ini dia Pak! Sampai sekarang, ya, masih berobat. Keluhannya tetap ada.”
“Jadi, bagaimana dengan saya?”, kataku yang sudah tak sabar.
“Begini, Pak! Bapak tahu jurig * ?”
“Tidak..!”
“Tapi sering bukan, mendengar kata  jurig ?”
“Ya..!”
“Bapak takut kan sama jurig ?”
“Tidak..! Sejak kecil juga saya tidak takut.”
“Bagus! Biasanya orang mendengar kata jurig saja, dia itu sudah takut, walaupun dia belum pernah bertemu atau melihat jurig. Nah, hal ini seperti kata cuci darah. Orang barat kalau Kreatinin darahnya baru 3 saja sudah cuci darah, karena yang normal itu cuma 1 kadar kreatinin darahnya. Orang Asia, walaupun Kreatininnya sudah mencapai 8, dia datang ke dokter, masih memohon agar tidak menjalani cuci darah. Hanya minta makan obat saja. Jadi, orang Asia jika mendengar kata cuci darah itu seperti mendengar kata jurig. Takut, padahal kalau dia cuci darah mungkin bisa lebih baik.”
“Oh, jadi Dokter menganggap saya takut untuk menjalani cuci darah? Saya tidak takut, Dok! Kalaulah memang cuci darah itu jalan satu-satunya, ya sudah! Saya minta surat pengantar saja untuk menjalani cuci darah.”
dr. Rully tersenyum, kemudian berkata,”Nah, itu yang saya harapkan. Jadi, saya akan mengganti resep ini dengan surat pengantar. Mau di mana Anda menjalani cuci darah?”
“Di RS Al-Islam By Pass saja, Dok! Biar dekat dari Garut.” kataku.
“Oke, saya buat surat pengantarnya, ya! Saya sarankan Anda jangan lupa minum Vitamin 4 S saja!”
“Apa Dok?Vitamin 4 S itu?”
“Vitamin 4 S itu adalah : Shalat, Sabar, Semangat, dan Sehat bersama cuci darah.
Harus selalu diingat,ya! Anda itu orang normal dan sehat, hanya bersama cuci darah.”
“Ya, ini suratnya. Selamat menjalani dunia baru!” kata dr. Rully sambil tersenyum puas.

* Jurig artinya hantu.

Perkenalan dengan Evi Arpan

Rumah Sakit Al-Islam yang menjadi tujuanku untuk menjalani cuci darah ternyata tidak bisa menerima pasien baru, karena jadualnya sudah penuh dan fasiltas mesinnya terbatas. Adikku yang mengurus segala persyaratan, surat-surat dan prosedur yang harus ditempuh terpaksa beralih tempat.  Aku mengetahui hal itu setelah dia selesai mengurus segalanya di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny.R.A.Habibie Jalan Tubagus Ismail, Bandung.
Jadual yang ditentukan oleh pihak rumah sakit adalah hari Rabu dan Sabtu sore, padahal hari itu, Selasa, 18 April 2006 . Kalau aku harus menunggu sampai besoknya lagi, mungkin kisah hidupku tamat sampai di situ, karena aku sudah tak tahan. Kepalaku selalu tertunduk tak tahan menahan nyeri di tengkuk, mata rasanya mau lepas, susah membuka kelopak mata, kaki susah melangkah, sekujur tubuh bengkak-bengkak, napasku pendek-pendek. Otakku tak bisa lagi berpikir waras. Aku pasrah dengan segala keputusan Allah yang menguasai jiwaku. Apapun yang terjadi aku sudah pasrah. Dzikirku hanya bisa diucapkan di dalam hati, “Subhaanallah, walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallaahuakbar” tak lepas. Batinku menjerit memohon kepada Allah agar penderitaanku segera berakhir.
Seluruh keluargaku sudah panik. Hanya adikku, Sumi, dia menyuruh aku agar segera menghubungi Evi Arpan.
Siapa Evi Arpan itu?
Dia adalah pasien gagal ginjal yang sudah banyak makan asam garamnya masalah cuci darah. Kebetulan tempat tinggalnya hanya sekitar 500 m, tidak jauh dari rumah adikku, Nurbayani Saleha di Saibi, Cijerah, Bandung sebagai tempat persinggahanku sementara, selama berobat di Bandung.  
Saat itu juga Evi Arpan diundang ke rumah adikku untuk dijadikan nara sumber sekaligus gambaran bagiku dan seluruh keluargaku yang siap menyimak segala materi pengalaman hidupnya selama cuci darah kurang lebih 17 tahun itu.
Sungguh suatu prestasi luar biasa, ketabahan, ketawakalan, kesabaran, kegetiran, kengerian dan semangat hidup yang susah untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Evi Arpan, seorang pemuda yang telah memberikan inspirasi dan keteladanan hidup bersama cuci darah sejak berusia 16 tahun. Dia mampu melanjutkan sekolah ke SMA, kuliah, sampai kemudian bekerja layaknya orang yang sehat sebagai Tata Usaha di salah satu Madrasah Aliyah di Kota Bandung.
Andaikan kutuliskan kisah hidupnya, mungkin tidak akan selesai 3 atau 4 bulan, karena berjuta pengalaman yang pernah ia lalui.
Biarpun tubuhnya yang kecil, tangannya yang rusak, urat nadinya yang membengkak melintang sebesar jari seperti kue tambang yang melilit di kedua tangannya, bekas dua kali operasi AV shunt atau Cimino dan beribu-ribu tusukan jarum pistula. Namun wajahnya yang kehitaman itu masih memancarkan semangat hidup yang tinggi.
Oke! Aku angkat topi padanya.
Dari seorang Evi Arpan aku mendapatkan suntikan segar vitamin semangat hidup. Evi, dia masih bujangan. Tidak ada yang menjadi tanggungannya, tapi dia masih terus memiliki semangat hidup yang tinggi. Akhirnya tersadar kembali, aku masih memiliki tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak-anakku yang masih kecil. Keempat anakku masih membutuhkan figure seorang ayah. Apalagi Si Bontot, Cici, biasa ia dipanggil, anakku yang paling kecil dan saat itu baru berusia 1 tahun. Dialah anakku yang paling lucu,  yang memotivasiku untuk bangkit lagi dari ketidak berdayaan. Aku jadi malu di hadapan Allah Swt.
Atas saran Evi, bahwa aku harus segera menjalani cuci darah saat itu juga. Dia tahu persis kondisiku. Dia bilang, “Pak! Bapak harus hari ini juga cuci darah. Jangan menunggu sampai besok! Saya khawatir Bapak tidak akan bertahan, karena racun di tubuh Bapak sudah banyak sekali, harus segera dikeluarkan.”
“Ya, memang saya pun sudah tak tahan. Tadi malam juga sudah tak bisa tidur sama sekali. Badan sudah serasa remuk. Tapi bagaimana caranya bisa cuci darah sekarang? Jadual saya harus besok sore”.
“Oh, bisa Pak! OT saja!” jawab Evi.
Aku heran tak mengerti, “OT?” pertanyaanku singkat.
“Ya, OT. OT itu cuci darah diluar jadwal yang ditentukan, hanya harus memberikan biaya tambahan sebesar Rp 100.000,00 sekali cuci. Kapan pun Bapak mau, pasti dilayani asal telpon dulu Mas Kamto yang mengurus jadualnya”. Evi menerangkan dengan penuh semangat.
Belakangan, baru aku mengerti bahwa OT itu singkatan dari over time, artinya cuci darah di luar jadual yang sudah ditentukan.
Saat itu juga aku langsung menghubungi Mas Kamto penentu kebijakan masalah jadual cuci darah di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R. A. Habibie, Bandung. Alhamdulillah, terjadi kesanggupan menerimaku untuk cuci darah pukul 15.00.
Hampir seluruh keluargaku  menumpahkan tangis bahagia, karena telah ada jalan keluar saat kondisi badanku sudah kritis.
Pada pukul 14.00 kami berangkat dari Saibi, Cijerah ke Tubagus Ismail menuju RSKG Ny. R.A. Habibie.
Pelayanan pertama yang sungguh mengesankan, karena keramah-tamahan segenap karyawan RSKG mulai dari satpam, cleaning service, perawat sampai dokter yang menanganiku semuanya baik, sopan, ramah, selalu tersenyum juga memberikan pelayanan dan perawatan professional terbaik. Di samping sentuhan lembut para perawat, penuh perhatian saat mendengarkan keluhan pasien dan kecekatan mereka merawat pasien bisa aku rasakan. Begitu datang di gerbang pagar depan RSKG, satpam sudah menyambut dengan anggukan kepala dan senyum yang ramah. Ada juga satpam yang segera menyodorkan kursi roda pada saat aku turun dari mobil. Kemudian mendorong dan mengantarkanku sampai ruang tunggu di lantai II. Beberapa saat kemudian aku dipersilakan memasuki ruangan yang luas, terdiri dari 17 tempat tidur yang mengelilingi meja dokter dan perawat.
Aku berbaring di atas ranjang yang otomatis bisa ditinggikan atau direndahkan sesuai keinginan atau sandarannya yang mau diatur berapa derajatnya, dengan menggunakan remote controle. Beberapa meter di atas kepala ada AC yang membuat pasien lebih nyaman. Dengan posisi ranjang yang berderet dan bersebrangan dengan pasien lain, juga tersedia fasilitas hiburan, beberapa TV kabel yang siap memberikan hiburan untuk sekedar mengusir rasa kesal berjam-jam terbaring saat cuci darah.
Saat itu, aku sudah sulit bernafas. Maka dokter segera memberikan oksigen. Sampel darahku diambil untuk membeli 2 labu darah ke PMI. Mesin EKG dipasang untuk memeriksa jantungku. Hasilnya, jantungku masih baik, tapi aku disarankan memakai cuci darah system karbonat, bukan asetat. Aku belum begitu mengerti tentang perbedaan keduanya.
Mas Slamet dan perawat lainnya yang selanjutnya menanganiku. Jarum pistula siap dipasang di selangkangan kaki kiri untuk mengeluarkan darah yang dialirkan ke mesin penyaring, kemudian darah segarku yang mengalir itu akan dimasukkan lagi pada pembuluh darah di tangan kiri. Sebelum menusukkan jarum pistula, di selangkangan diberi injeksi anestesi lokal dulu agar tidak terlalu sakit, karena jarum pistula itu besar sekali dan harus berjam-jam terbenam di selangkangan.
Wow! Tusukan pertama jarum itu membuat mataku yang sudah redup langsung terbelalak. Aku pun merintih, menjerit, menahan sakit yang sampai ke ulu hati. Tusukkan yang menyelamatkan hidupku. Tusukan yang menyalakan harapan dalam kegelapan masa depanku.
Pukul 17.00 WIB, Selasa, 18 April 2006 kisah hidup pertama kali berkenalan dengan mesin cuci darah.
Bunyi kretek-kretek mesin cuci darah diselingi bunyi alarem peringatan serta kilatan lampu merah yang berkelip-kelip kalau terjadi sesuatu yang salah harus dinikmati selama 2 jam. Selanjutnya akan berlangsung kontinyu setiap hari Selasa dan Jum’at  dan berangsur-angsur limit waktu bertambah menjadi 3 jam sampai 4 jam pada saat cuci darah yang ke dua dan ke tiga.
Kepala yang tadinya terasa berat berangsur-angsur ringan. Pandangan yang asalnya terasa buram, bahkan hampir gelap mulai terasa terang lagi, napas pun terasa ringan. Badan mulai terasa segar setelah 2 jam cuci darah dan mendapat tranfusi 2 labu darah. Tapi rasa nyeri yang hebat harus terulang saat jarum pistula di selangkangan harus dicabut kemudian bekas tusukan jarum yang besar itu harus di tekan dengan kuat sekitar 15 menit, agar urat nadi yang bolong bekas tusukan tidak memuncratkan darah dan lubangnya tertutup lagi. Begitu juga bekas tusukan jarum di tangan kiri, sama, harus ditekan dulu 15 menit agar mengering.
Jangan bertanya bagaimana rasanya! Anda bayangkan saja sendiri!
Selesai sudah, pengalaman pertama cuci darah yang sangat menakutkan, apa yang dikatakan dr.Rully seperti bertemu “jurig” itu aku alami. Aku pulang lagi ke Cijerah, rumah adikku yang pertama, Nurbayani Saleha yang berprofesi sebagai Ibu Panti Sosial Asuhan Anak Nurul Ihsan. Aku sadar betul bahwa kondisiku masih sangat lemah jika harus kembali ke Garut. Dan aku sadar betul bahwa cuci darah ini baru permulaan yang harus aku jalani seumur hidupku, minimal 2 kali seminggu secara rutin dan kontinyu.
Mampukah aku bertahan hidup dengan cuci darah? Entahlah, hanya Allah Swt Yang Maha Mengetahui segalanya.

Sabtu, 04 September 2010

Derita Paling Menderita


Mike Tyson, si Leher Beton, petinju legendaris, tentu Anda ingat. Sekuat apapun dia, jika sedang berada di atas ring tinju dan siap melayangkan bogem mematikan, tetapi tiba-tiba tubuhnya terserang gatal-gatal, pasti tidak bisa berkutik.
Begitulah kira-kira gambaran bagaimana dahsyatnya gatal-gatal bisa membuat orang sedigjaya apapun akan menjadi tak berdaya.
Kejadian yang sangat menyakitkan ini pernah kualami saat cuci darah yang keempat kalinya. Pinggang, paha, sampai betis kaki kiriku bengkak, merah lebam. Darah dibawah permukaan kulitnya beku, warnanya hitam kebiru-biruan. Rasanya menyakitkan sekali. Akibat dari tusukan jarum pistula yang kurang tepat di selangkangan, saat pertama kali cuci darah. Tepat di bekas tusukan itu pun terjadi abses (pembengkakan) hampir sebesar telur ayam. Sehingga kaki kiri saya sulit untuk bergerak seperti orang yang terserang Cikungunya.
Tangan kiri baru sehari menjalani operasi cimino/AV shunt, sama tak bisa bergerak leluasa dan masih bengkak. Apalagi, bekas sayatannya hampir mendekati sikut. Jadi, gerakan tangan kiri pun terhambat. Sedangkan, tangan kanan dan selangkangan kaki kanan masing-masing terpanggang jarum pistula cuci darah. Lengkaplah belenggu yang tak berbelenggu bagi seluruh anggota tubuhku, ikatan erat yang tak bertali dan membuat aku tak bisa bergerak sedikitpun. Hingga aku harus bertahan dalam kondisi berbaring seperti mayat selama lebih kurang 4 jam cuci darah.
Selang oksigen juga terpasang di hidung agar napasku terasa ringan. Namun menambah ketidak nyamanan untuk bergerak. Dua buah labu darah sudah dipersiapkan guna memperbaiki Hb yang hanya 5,0 mlHg. Inilah yang menjadi virus malapetaka, penyebab utama terjadinya derita yang paling menderita.
Bagaimana bisa?
Ya, dengan transfusi darah itu, aku tersiksa.
Labu pertama terpasang bersamaan dengan proses cuci darah. Pada 15 menit awal, berjalan lancar-lancar saja. Memasuki menit ke-16 mulai terasa gatal di telinga sebelah kiri. Aku meminta tolong istri untuk menggaruknya. Beberapa detik kemudian bertambah pula rasa gatal itu ke telinga kanan.
Gatal itu terus berkembang biak bak jamur di musim hujan, menyerang punggung, pinggang, pantat, kaki, tangan dan wajah.
Aku segera minta tolong diberi obat anti gatal. Mas Slamet sebagai perawat yang sigap cepat memasukkan injeksi interhistine 1 ampul. Gatal di tubuhku bukannya mereda, malah semakin menjadi-jadi. Aku meminta bantuan tambahan pasukan penggaruk Yayu dan Zaki, adik-adikku. Agar bisa menggaruk seluruh bagian tubuh yang terasa panas, gatal dan menyakitkan. Karena tangan dan kakiku tak bisa bergerak sama sekali. Injeksi interhistine  ditambah lagi sampai habis 4 ampul. Tapi hasilnya tetap nihil, malah gatalnya tambah seru.
Aku menjerit, merintih menahan sakit, rasa gatal dan jengkel karena garukan mereka banyak meleset dari instruksi sasaran yang kuinginkan. Akhirnya aku hanya bisa pasrah tak berdaya. Aku mengakui segala kelemahan diri di hadapan Allah Swt., Yang Maha Kuasa, Yang Maha Menguasai jiwa. Aku hanya bisa menggigit bibir bagian bawah untuk menahan derita yang paling menderita sambil memanjatkan doa memohon  kekuatan dalam batin, “Laahaula walaa Quwwata illa billaahi aliyul adziim..!”
Air mata kepasrahan kepada Allah Swt yang menguasai jiwaku terus mengalir.
dr. Rusma, dr. Cut Indra dan Mas Slamet menghampiriku. “Labu darah pertama sudah habis. Bagaimana,Pak? Mau dilanjutkan dengan labu yang kedua?” kata dr.Rusma.
Beberapa saat aku tak bisa menjawab. Batinku berperang sabil antara melanjutkan transfusi atau tidak? Karena aku tahu, penyebab gatal itu adalah penolakan tubuh terhadap darah asing yang masuk (alergi terhadap darah yang kurang cocok).
Jika dilanjutkan, aku harus menahan penderitaan yang tak terperikan ini lebih lama. Tapi jika tidak dilanjutkan, badan akan semakin lemah karena Hb-ku yang sangat minim dan sayang labu darah yang satunya lagi akan terbuang sia-sia. Padahal harganya cukup mahal, juga  perjuangan untuk mendapatkannya sangat melelahkan.
Gejolak batin dan pikiranku terus berperang antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Mas Slamet mendesak, “ Pak, bisa bertahan  jika dilanjutkan transfusinya?”
Aku masih belum bisa menjawab. Telinga dan wajahku terasa bengkak. Istriku juga mengatakan bahwa wajahku bengkak, telingaku menebal beberapa millimeter dan berbintik-bintik merah. Bisa Anda bayangkan sendiri, betapa menderitanya aku saat itu.
Selanjutnya aku berpikir belum ada orang yang mati gara-gara gatal. Memang ada sih, gatal yang mengakibatkan kematian. Yaitu, gatal yang digaruk di tengah jalan tol lalu tertabrak kendaraan. Ya, mati deh..!
Aku mencoba mengumpulkan segenap keberanian dan kesabaran dalam ketidak berdayaan  untuk melanjutkan tranfusi  tersebut, walaupun aku tahu resiko yang harus aku tanggung berat sekali. Namun aku yakin Allah Swt yang menguasai jiwa ragaku pasti memberikan kekuatan 2 jam ke depan untuk menahan segala derita ini.
Aku jawab tantangan Mas Slamet dengan hati mantap dan tekad yang bulat “Ya, Mas! Lanjutkan saja, insya Allah saya kuat!”
Anak, Istri dan adik-adikku yang berada di sekelilingku dan menyaksikan kejadian itu semuanya meneteskan air mata. Air mata sedih, haru dan pasti bisa merasakan bagaiman penderitaan yang harus aku jalani selama 2 jam lagi.
Kepasrahan. Ya, hanya kepasrahan diri yang bisa mengantarkan dan melewati masa-masa kritis semacam itu. Hanya Allah-lah yang bisa menolong jiwaku. Tak ada makhluk lain. Sambil menggigit bibir bagian bawah dan memejamkan mata, aku tuntaskan perjuangan melawan rasa gatal serta tak pernah lepas dari doa, ”Laailaahaillallah, Laahaula walaaquwwata illa billaah aliyyul adziim”.
Setelah cuci darah selesai, ketika turun dari pembaringan kakiku tak bisa bergerak, lemas tak bertenaga. Saat aku mencoba berdiri malah mau ambruk. Perasaanku cemas dan takut kalau-kalau kakiku menjadi lumpuh. Beruntung, dr. Rusma memberikan penjelasan bahwa kondisi demikian tidak akan berlangsung lama. Ini hanya efek samping dari obat anti gatal yang diberikan tadi.
Sepanjang perjalanan pulang dari RSKG menuju ke Cijerah, aku masih sibuk menggaruk-garuk sekujur badan sepuasnya. Hitung-hitung balas dendam, karena selama cuci darah tadi tidak bisa menggaruk sendiri.


Kesempatan Hidup Kedua

Beberapa minggu setelah kejadian itu, ada lagi peristiwa yang lebih mengerikan. Seandainya saat ini Anda sedang membaca tulisan ini, tiba-tiba aku ajukan pertanyaan, “Apakah Anda siap saat ini, detik ini juga malaikat Ijrail menghampiri Anda, kemudian mencabut nyawa Anda?”. Aku yakin jawabannya pasti “Tidak siap!” atau kemungkinan besar jawabannya seperti itu. Karena Anda kaget dan sungguh diluar dugaan, tanpa persiapan mental sedikit pun. Tapi kalau rasa keimanan Anda kuat, pasti Anda pun menjawab, ”Siap! Kapan pun dan di mana pun saya pasti siap!”
Barangkali kondisi seperti itulah yang aku alami pada hari Kamis, 20 Juni 2006. Badanku masih kuat untuk berjalan kaki sekedar turun dari angkot menuju lantai II ruang tunggu cuci darah di RSKG Ny. R.A. Habibie. Segera aku berdiri di atas timbangan yang tersedia untuk mengetahui berat badanku. Jarum timbangan menunjukkan angka 46,5 kg, berarti ada kenaikan berat badan 2,5 kg selama 3 hari sebelumnya. Aku selalu mencatatnya di buku agenda pasien. Rutinitas timbang-menimbang berat badan sudah menjadi kewajiban baru sejak menjalani cuci darah. Setiap datang dan pulang pasien wajib mencatat berat badannya, agar tim medis bisa menentukan banyaknya cairan yang harus dibuang dari tubuh pasien.
Moment cuci darah bisa aku gunakan untuk makan. Hal ini juga banyak dialami pasien lain. Karena saat inilah biasanya alat pencecap agak normal, bisa merasakan segala rasa makanan dengan tepat, rupanya karena racun (ureum dan kreatinin) di tubuh sedang dikeluarkan. Tetapi begitu selang cuci darah dilepas, beberapa puluh menit kemudian alat pencecap itu kembali krodit, tidak sensitive lagi terhadap rasa. Saat itupun aku disuapi istri tercinta. Aku makan dengan lahap. Banyak yang iri melihat kami selalu mesra. Sehingga, makan saat cuci darah adalah saat yang dinanti-nanti, karena hanya bisa dinikmati 2 kali seminggu.
Jam-jam pertama cuci darah tak ada kendala. Memasuki 15 menit terakhir jam ke-4, tiba-tiba kedua kakiku terasa dingin, nyeri dan kram. Kemudian kepala juga dingin dan pusing berat, pandangan kabur, berkunang-kunang dan menghitam. Bumi di sekelilingku rasanya akan runtuh, gelap. Napas tiba-tiba berat dan sesak. Mual tak tertahankan dan dada pun terasa ditumbuk-tumbuk. Sekelebatan aku masih bisa melihat suster Neti di sebelahku. Beruntung, aku masih bisa berteriak, “Suster pusing…!”
Suster Neti dengan sigapnya segera menurunkan posisi kepalaku supaya sejajar dengan badan sebab asalnya posisi kepalaku bersandar agak tegak. Tujuannya agar aliran darah ke kepala bisa lancar, selang oksigen cepat-cepat dipasang untuk membantu pernapasan. Dokter jaga dan perawat lain berdatangan, tensi darahku tiba-tiba drop menjadi 80/60. Aku terkulai, selang cuci darah juga cepat dicabut, padahal masih tersisa beberapa menit lagi.
Antara sadar dan tidak, aku berjuang terus, bernapas dan mengembalikan segenap energi yang masih tersisa. Perlahan-lahan perubahan itu berlangsung, kemudian napas terasa agak ringan, pandangan pun tidak terlalu gelap. Hanya kepala masih terasa pening. Tensi darah mulai naik lagi dan beberapa puluh menit kemudian agak normal 110/70.
Setelah napas kembali normal begitu juga tensi darahku menjadi 120/80, aku diperbolehkan pulang.
Dengan kursi roda aku menuju angkot Mang Dadang yang sudah siap menjemput, baru beberapa puluh meter saja angkot itu meninggalkan RSKG tubuhku tiba-tiba menggigil, meriang merasa kedinginan hebat. Kepala pusing dan mual yang dahsyat tak tahan. Aku muntah-muntah, terkuras seluruh isi perut keluar semua, jerih payah istriku menyuapiku waktu cuci darah terbuang sia-sia.
Jarak antara RSKG di jl. Tubagus Ismail sampai ke Panti Sosial Asuhan Anak Nurul Ihsan di jl. Mekar Manah no.7 Cijerah (Perum Saibi) serasa berpuluh-puluh jam. Selama perjalanan itu, istriku berusaha mendekapku dengan penuh kasih sayang. Setiba di Saibi aku tak mampu lagi berdiri apalagi berjalan. Selain istriku dan adiku, beberapa anak panti ikut membantu menggotong badanku agar sampai di tempat tidur.
Kondisiku makin lemah, kaki tanganku tak mampu bergerak, jari-jari pun tak mampu bergerak. Dingin menjalar ke sekujur tubuh terutama kaki sampai pinggangku. Istri dan adik-adiku sudah panik, sekilas saja kulihat mereka semua sudah menangis bingung harus bagaimana menolongku yang tak berdaya saat itu. Wajah kakekku tiba-tiba saja terbayang di benakku saat beberapa menit lagi menjelang ajalnya tiba. Pengalaman dahsyat itu kembali kusaksikan dari file memoriku. Pada saat kakekku melepaskan napas terakhir di pangkuanku. Ibuku juga detik-detik akhir hidupnya aku saksikan sendiri. Kondisi terakhirnya sama seperti aku saat ini, dimulai dengan turunnya suhu tubuh di kaki terus beku, merambat ke paha selanjutnya ke dada, akhirnya melepaskan napas terakhir untuk menuju keharibaan Allah Swt.
Saat itu hanya hati dan keimanan yang masih menerangi jiwaku dan menuntunku untuk terus berjuang hidup. Aku pasrah dan menyerah akan segala takdir yang digariskan Allah Swt. “Aku menerima segala keputusan-Mu, Ya Allah!. Seandainya malaikat Ijrail mau menjemputku agar aku segera bertemu dengan-Mu aku rela. Karena aku ini milik Engkau semata. Tetapi seandainya ajalku belum tiba, tolonglah hamba! Berilah hamba kekuatan untuk bisa bertahan hidup sampai batas yang telah Engkau tentukan”, begitu jerit batin yang aku panjatkan. Dalam keadaan hampir seluruh keluarga panik, takut, stress, cemas, khawatir, istriku masih berpikir bagaimana caranya agar suhu tubuhku menjadi hangat kembali. Selain selimut dan bantal yang sudah ditumpuk di atas tubuhku agar hangat, ia cepat mengisi buli-buli/ umbit (kantung karet yang bisa di isi air panas), ditambah dengan botol bekas air minum mineral dan botol kaca bekas sirup buah yang di isi air panas juga. Dua botol bekas sirup buah yang besar-besar di simpan di betis, dua botol bekas air mineral di paha dan buli-buli/umbit di atas dada.
Adik-adikku, Nurbayani Saleha, Zaki Sukmaya, dan Yayu Fauziah bergantian memijit-mijit telapak kaki dan telapak tangan. Mungkin tujuannya agar darah yang seperti membeku dapat mengalir dengan cepat dan bisa berganti dengan yang hangat karena air panas tadi.
Hampir 2 jam mereka memijit-mijit telapak kaki dan tangan, serta mengurut betis sambil terus meneteskan air mata dan berdo’a, baru terasa ada perubahan, suhu tubuh mulai naik. Badanku mulai hangat lagi. Tapi semua energiku serasa musnah. Aku masih terkulai, namun kelopak mataku sudah mulai bisa terbuka.
Atas izin Allah pula, aku mulai bisa diajak komunikasi walaupun dengan suara yang sangat pelan dan berat. Istriku berinisiatif menawarkan minum teh manis. “Biar ada energi.” katanya. Aku hanya mengedipkan mata tanda setuju. Beberapa sendok teh manis yang disodorkan istriku bisa mulus melewati tenggorokan. Kemudian dia juga menawariku makan makanan bayi berupa bubur cair produk Nestle. Jawabanku sama, hanya kedipan mata pula. Istriku secepat kilat menyajikan bubur Nestle cair rasa beras merah. Dia menyuapiku dengan sabar, tekun dan penuh cinta.
Semangat hidupku timbul lagi. Aku berusaha bisa menelan bubur dan tak perlu mengunyah sedikit pun. Begitu bubur sudah ada di mulut, langsung glek saja  ditelan dan masuk ke lambung. Dengan ketekunannya menyuapiku, 20 gr bubur Nestle itu masuk ke dalam lambungku. Dibuatkannya lagi bubur yang kedua. Alhamdulillah, habis.
Subhanallah, atas kemurahan Allah Swt, aku mulai memiliki energi lagi dan bisa menggerakkan jari-jari tanganku, sedikit bersuara dan menggerakkan jari-jari kakiku.
Kejadian menegangkan itu cukup lama, dari sekitar pukul 17.00 sampai pukul 24.00. Adikku, Zaki, masih belum berhenti memijat telapak kaki, karena aku tak mau darahku kembali menjadi beku. Dia sudah kelelahan dan terkuras mental dan energinya. Tapi dia masih setia berbakti memijat terus sampai dirinya yakin bahwa aku sudah pulih. Pukul 01.00, aku baru bisa mengeluarkan suara agak fasih dan bisa dipahami, walau gerakan tubuhku masih sedikit. Aku menyuruh adikku berhenti memijat dan beristirahat. “Ki, sudah dulu ya! Istirahat aja dulu! Capek! Terima kasih ya!” kataku pelan.
Zaki, adikku tidak menjawab. Hanya matanya terus menatapku dengan tatapan yang berkaca-kaca, lama sekali. Seolah-olah dia ingin meyakinkan diri bahwa aku masih bisa bertahan hidup sampai besok lusa dan entah sampai kapan. Dia beranjak ke ruangan tengah untuk beristirahat bersama adikku yang lain.
Sebelum pergi tidur, istriku mengingatkanku untuk shalat Maghrib dan Isya yang belum sempat kutunaikan. “Pa, shalat dulu ya! Magrib dan Isya kan belum. Jama qoshor aja semampunya!” katanya pelan. Raut wajahnya agak sedikit berbinar lagi penuh harapan. Karena usaha dan jerih payahnya bisa berhasil, dan dia pasti sangat paham, bahwa hakikatnya Allah yang memberikan pertolongan kepada kita.
Aku menjawabnya dengan senyum. Senyum kebahagiaan karena sudah bisa melewati masa yang sangat kritis, antara hidup dan mati. Aku merasa diberi kesempatan hidup kedua.
Sambil berurai air mata, aku bertayamum dalam imajinasiku, lalu kutunaikan shalat Maghrib dan Isya dengan jama qoshor, tanpa bergerak sedikit pun. Kecuali hanya mengacungkan jari telunjuk saat tahiyyat, karena hanya itulah kemampuanku. Hanya itu energi yang kumiliki sebagai bakti dan rasa syukurku atas segala pertolongan Allah Yang Maha Kuasa.
Pagi-pagi, aku mulai bisa menggerakkan kaki dan tangan, berbicara pelan-pelan. Kepalaku masih terasa pusing, tapi aku yakin besok-lusa aku pasti bisa bangkit lagi. Amiin!

Mimpi

Ya Allah!
Mimpiku menjadi orang normal
Mungkin hanya angan dalam khayal
Yang tak bertepi sampai ajal

Namun aku juga bermimpi
Sakitku pasti akan terobati
Saat aku bisa menikmati
Indahnya cinta-Mu di surga nanti.  
 

Perhiasan Terindah

Pas benar ungkapan sepenggal syair lagu Rhoma Irama yang mengatakan “Perhiasan terindah itu wanita sholehah”. Fatmah Tresnasih, seorang istri yang aku sunting pada hari Minggu, 5 Juli 1992 sampai sekarang benar-benar merupakan  perhiasaan terindah dalam hidupku. Sosok perempuan yang tegar, sabar, telaten, tak pernah mengeluh, penuh daya juang, motivator ulung yang penuh cinta dan kasih, sesuai dengan namanya Tresnasih. Tresna artinya cinta dan Asih artinya kasih sayang yang tulus.
Mimih, begitu aku dan anak-anak menyebut namanya. Dialah yang telah melahirkan 4 permata hidupku yang lain, Faris Fajar Wibawa (17), si sulung yang ganteng dan tiga dara yang cantik-cantik, Ulfa Shofi Agnia (15), Nazla Gina Farfasya (10), dan Fhatiya Bilqis Saida (5).
Penandatanganan dan peresmian kontrak hidup bersama dunia-akhirat, kami sepakati sejak ijab qabul dengan wali dihadapan penghulu tak akan putus, walau kematian memisahkan kami. Ini terbukti dengan begitu setianya dia menjaga dan merawatku saat aku sudah tak berdaya.
Begitu besar pengorbanannya bagiku dan keluarga. Istriku dituntut harus pandai membagi waktu, sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Sebagai wanita karir, dia harus tetap menjalankan tugas mengajarkan Bidang Studi Bahasa Inggris di SMPN 1 Banyuresmi, Garut. Sebagai ibu rumah tangga, dia harus menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Tugas istriku yang paling berat adalah merawatku sebagai suaminya. Mimih, adalah kata pertama yang saya panggil, jika aku sakit. Dia yang pertama kali terbangun dan terjaga saat tengah malam aku pening, pegal dan linu atau muntah-muntah. Begadang sampai pagi, sedangkan esok harinya harus mengajar dan mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan berobat dan cuci darah.
Aku sudah tak bisa berpikir lagi untuk mencari uang. Istrikulah yang sigap kasak-kusuk, ke sana-ke mari mencari pinjaman. Entah dari mana, aku tak tahu. Biaya cuci darah memang ditanggung Askes, tetapi banyak obat-obatan yang di luar tanggungan Askes. Pembelian labu darah, dan yang paling besar biayanya adalah biaya transportasi. Setiap kali pergi ke Bandung harus merental mobil, karena badanku semakin lemah dan tak kuat lagi kalau naik kendaraan umum. Ya, setiap cuci darah harus mengantongi uang minimal 1 juta rupiah.
Bisa Anda kalkulasikan sendiri jika dua kali cuci darah dalam seminggu, berarti setiap bulan harus mengeluarkan uang Rp 8 juta. Belum biaya tak terduga lainnya seperti operasi AV shunt atau cimino. Operasi AV shunt atau cimino yaitu operasi memperbesar pembuluh darah di tangan, agar tidak ditusuk di selangkangan.
Sungguh pengorbanan yang luar biasa. Bukan hanya dituntut bisa memenuhi kebutuhan untuk berobat, tapi disaat kepalaku pening, istriku mampu memberikan pijatan lembut yang menggetarkan nadi kehidupan. Pada saat aku terkulai lemas kehabisan energi, dia menyuapiku dengan penuh kasih sayang. Menyeka seluruh tubuhku di saat aku tak mampu mandi. Membersihkan seluruh kotoran yang menempel di badanku. Mengecup pipi kanan, kiri dan keningku dengan penuh perasaan cinta saat aku akan tidur.
Dialah orang yang pertama kali merasa cemas, gelisah dan pontang-panting mencari pertolongan, jika aku merintih kesakitan. Dialah yang selalu memberiku semangat hidup, membesarkan jiwa saat aku merasa putus asa, merasa down, stress dan kehilangan pegangan. Dialah yang selalu mengajak aku mendekatkan diri pada-Nya! Mengingatkan aku untuk berdo’a, bertasbih, bertahajud dan selalu mengingat nama- Nya di setiap tarikan nafasku. 
Ya Allah! Sungguh malu diri ini dihadapannya. Aku tak bisa membalas cinta, kasih sayang dan pengorbanannya yang begitu besar, begitu tulus dan begitu murni. Mustahil aku bisa berpaling ke lain hati. Tak mungkin, impossible!  
Bagaimana aku bisa membalas semua itu?
Aku hanya bisa berdo’a dan memohon kepada-Mu ya Allah! Mudah-mudahan ia mendapatkan ridho-Mu, karena aku pun sebagai suaminya, merasa ridho, bahagia, dan puas mendapatkan pasangan hidup dirinya yang shalehah.
Tak keliru aku memilih Fatmah Tresnasih sebagai pendamping hidup selamanya, dunia dan akhirat. Terima kasih Ya Allah!   

Uang Bukan Segalanya

Kegiatan rutinku berubah 180 derajat. Biasanya, pagi-pagi sudah berangkat mengajar, sekarang malah berbaring lesu sambil berselimut tebal. Biasanya berbaur dengan para guru dan siswa di SMPN 1 Banyuresmi, sekarang harus diam sendirian di rumah. Biasanya mengurusi orang lain, sekarang malah harus diurus orang lain. Aku merasa tak berguna lagi. Tugas dan jabatanku harus ditinggalkan. Bahkan kartu mahasiswa yang baru saja aku terima sebagai tanda bukti menjadi mahasiswa baru, jas almamater dan kartu KRS di STKIP Garut harus dilupakan begitu saja.  Cita-citaku untuk melanjutkan kuliah hapuslah sudah. Aku harus puas dengan ijazah Diploma 3 saja. Karir, jabatan apalagi penghasilan menyusut drastis setiap bulannya.
Pada bulan April 2006, aku menulis surat pengunduran diri dari jabatan dan tugas-tugas yang tidak mungkin lagi bisa aku tunaikan dengan alasan kesehatan. Aku hanya memohon diberi tugas yang ringan dan yang lucu saja di sekolah.
Alhamdulillah Bapak Engkus Kusnadi, S.H., sebagai kepala sekolah mengerti kondisiku yang harus bolak-balik terus cuci darah ke Bandung.
Tiap kali pergi ke RSKG 2x seminggu, aku tidak mau pusing dengan rentalan mobil dan sopir. Beruntung, sahabat-sahabat terbaikku selalu siap dan sigap mempersiapkan semuanya. Pak Jejen, Pak Wawan, dan Mang Ujang mereka bergantian mengantarku. Biasanya kami berangkat pukul 08.00 dari Garut dan tiba lagi pukul 18.00 atau 19.00.
Anakku yang paling kecil, Cici, begitu nama panggilannya, selalu dibawa pergi ikut ke RSKG. Banyak yang tertarik dengan kelucuannya. Bahkan seorang pasien, Pak Bambang, sangat terpesona dengan anakku itu. “Wah, kalau ada Si Cici, 4 jam cuci darah itu gak kerasa ya! Aneh, padahal di rumah juga banyak anak-anak kecil, tapi yang ini beda! ” kata Pak Bambang.
Dia selalu menanyakan anakku jika bertemu. Padahal Cuma bisa dadah dan melontarkan kata-kata yang harus diterjemahkan, karena belum fasih. Ya, memang Cici itu lucu. Wajahnya bulat, mata sipit, kulit putih, rambut ikal, dan badannya gemuk, montok. Hanya saja, dia selalu tertawa jika digoda dan seolah-olah bisa diajak komunikasi, walaupun usianya pada saat itu baru satu tahun.
Kami semakin akrab dengan Pak Bambang, begitu juga istrinya, jadual cuci darah kami selalu berbarengan. Sayangnya, beliau agak tertutup waktu aku menanyakan profesinya.
Aku hanya menebak-nebak. Kemungkinan Pak Bambang itu seorang anggota dewan, karena selalu pakai jas berwarna gelap, beremblim garuda. Postur tubuhnya tinggi besar. Wajahnya berwibawa. Kata-katanya penuh kharisma. Begitu juga istrinya, kalau ditanya masalah profesi beliau selalu mengelak. Dia hanya menjawab, “Bapak itu selalu sibuk, pergi pagi-pagi dan pulang petang, penghasilan pas-pasan (BP6). Ah, biasa saja wiraswasta!”
Awal bulan Mei 2006, tiba-tiba Pak Bambang berpamitan kepada semua pasien yang berada di ruangan karbonat yang berjumlah 17 orang. Katanya dia akan pergi ke Guang Zhou, Cina, untuk transplantasi ginjal. Operasi yang menjadi dambaan semua pasien GGK. Aku pun memimpikannya, agar bisa hidup normal kembali.
Aku terkesima dan terkagum-kagum, kepada Pak Bambang. Aku bertanya dengan nada agak menyelidik ingin tahu berapa biayanya, “Berapa Pak biayanya?”.
 “Ya, kita mah ambil yang paket hemat aja!” jawab Pak Bambang.
 “Oh ya, berapa Pak paket hemat itu?” tanyaku lebih penasaran.
“Sekitar 300 jutaan, itu pun sudah termasuk biaya hidup di sana sekitar satu setengah bulan”.
“Wah, hebat!” kataku, “Mahal juga, ya?”
“Lumayanlah Pak! Kita juga dapat bantuan dari saudara-saudara”.
“Selamat jalan, Pak! Semoga Bapak sukses transplantasinya!” kataku pelan.
“Amin! Do’anya saja Pak ya!” dia memohon sambil berjabat tangan.
“Eh, iya Pak! Kalau nanti Bapak sukses dan berhasil cangkoknya, jangan lupa kepada kami di sini Pak! Tengok kami ya Pak! Agar kami juga termotivasi untuk bisa seperti Bapak!” pintaku pada Pak Bambang.
“Pasti Pak, saya tengok! Eh, insya Allah ya!” jawabnya meyakinkan.
Berangkatlah Pak Bambang ke Cina untuk berusaha sembuh dari penderitaannya.
Setelah keberangkatan Pak Bambang ke Cina, aku jadi terobsesi ingin seperti Pak Bambang. Terbayang di benakku, seandainya aku sehat lagi seperti sedia kala. Wah, betapa bahagianya diriku. Berjuta angan dan harapan akan kupenuhi. Cita-cita akan kuraih. Segudang khayal dan impian berkelebatan di depan mata.
Tiap selesai shalat aku selalu memanjatkan do’a, ”Ya Allah! Berikanlah aku kekayaaan seperti Pak Bambang agar aku juga bisa melakukan transplantasi ginjal. Ginjal yang selama ini telah menghambat karir dan kekhusuan ibadah kepada-Mu! Ginjal yang telah membuat seluruh keluargaku ikut menderita. Bukannya aku tidak menerima cobaan dari-Mu sebagai tanda sayang-Mu, karena aku telah menjadi orang pilihan untuk menerima ujian dari-Mu, agar bisa meningkatkan kadar keimanan, kesabaran dan ketaqwaan kepada-Mu. Bukannya aku tak paham bahwa orang sabar itu di sayang oleh-Mu dan bukannya aku tak mengerti bahwa penyakit ini adalah penebus dosa-dosaku. Tapi aku masih ingin lebih sempurna dalam beribadah kepada-Mu! Maka kabulkanlah do’aku Ya, Allah!”
Begitulah do’a yang sering aku panjatkan ba’da shalat fardu atau shalat tahajud.
Suasana cuci darah tambah akrab dengan sesama pasien maupun dengan perawat atau dokter, karena begitu seringnya kami bertemu. Ada Pak Kurnia, pasien dari Cilawu, Garut yang sering kuajak pulang bersama, Pak Agus Berlian, Pak Rukmana, Ceu Eros, Bu Kartini, Hedy yang masih anak SMU, Luki yang dari Tangerang, Pak Asnali yang gagah dan selalu berbaju loreng, dan yang lainnya.
Ada rasa rindu andai kata hari sudah mendekati hari Senin atau Kamis, jadualku cuci darahku yang baru. Rasa rindu untuk saling tukar makanan atau tukar pengalaman bersama mereka, karena merasa sependeritaan.
Selama itu, do’aku masih tetap sama, selalu berharap seperti Pak Bambang.
Betapa terkejutnya aku, jantungku rasanya hampir copot saat membaca Koran Pikiran Rakyat tanggal 25 Juni 2006 yang memberitakan bahwa Pak Bambang Budi Asmara telah berpulang ke khadirat Allah Yang Maha Kuasa.
Pak Bambang yang saat pamitan memberikan senyuman dan lambaian tangan terakhirnya. Pak Bambang yang ingin aku ikuti jejak langkahnya. Kini telah tiada. Mudah-mudahan Allah mengampuni segala dosanya, diterima iman Islamnya dan segala amal shalehnya dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin!
Ternyata uang itu bukan segalanya. Harta tidak bisa menjamin kesembuhan seseorang. Pak Bambang yang akhirnya kuketahui bahwa dia itu merupakan putra terbaik Jawa Barat. Dia menjabat sebagai Bendaharawan Partai Golkar Jabar, mantan Ketua KNPI Jabar, Penasihat Taekwondo Jabar, Ketua Yayasan Asia Afrika, dan sederet jabatan lainnya. Hal ini kuketahui beritanya dari koran setelah beliau tiada.
Di akhir bulan Juni itulah aku baru menyadari bahwa do’a-do’aku selama ini salah dan keliru. Sehingga aku segera bertobat dan mengucapkan istighfar, seraya berdo’a, “Ya, Allah terima kasih yang tiada terhingga, aku tidak diberi kekayaan seperti beliau, seandainya Engkau berikan kekayaan seperti Pak Bambang kepadaku, mungkin aku telah Engkau panggil seperti dia. Sedangkan aku masih ingin melanjutkan perjuangan hidup. Aku bersyukur dengan segala rizki yang telah Engkau berikan. Aku yakin, Engkau pasti telah menentukan jalan lain yang membahagiakanku.
Maafkanlah dosa-dosaku Ya, Allah! Yang telah menilai kecil rizki yang telah Engkau berikan, seolah-olah aku tak pernah Engkau beri apa-apa, seolah-olah aku tidak mensyukuri segala nikmat-Mu! Amiin!”
Sejak saat itu aku menyadari betul bahwa rizki itu sudah diatur dengan skenario Allah, dan aku yakin bahwa Allah itu memberikan sesuai dengan kemampuan dan kesabaran menjalaninya. Allah pasti memberikan kemudahan setelah datang kesusahan sesuai janji-Nya pada surat Al-Insyirah. Inna ma’al usri yusraa..
Bu Bambang yang sengaja datang ke RSKG mengisahkan peristiwa wafat suaminya dengan berurai air mata. Beliau tidak mengira kalau tiga hari pasca operasi transplantasi ginjal itu, suaminya dalam keadaan koma. Tak pernah sempat sadar sedikit pun sampai wafatnya.
Bukan saja menguras energi, mental, kesabaran, keikhlasan, bahkan materi yang tidak sedikit. Biaya hidup selama pemeriksaan dan operasi tersebut mencapai Rp 300 juta ditambah biaya pemulangan jenazah sekitar Rp 80 jutaan. Sungguh, biaya yang sangat menakjubkan bagi kami sebagai PNS yang berpenghasilan pas-pasan.
Tetapi itulah takdir Allah Swt, yang harus kita terima dan harus kita ambil hikmahnya, agar menjadi ibroh dan pelajaran yang sangat berharga.
Semoga Anda tabah Bu Bambang! Selalu diberi petunjuk dan kesabaran menjalaninya. Amiin!
 

Uji Keimanan

Kabar tentang penyakit yang aku derita begitu cepat tersebar kemana-mana. Banyak orang menengokku. Keluarga, tetangga, sahabat dekat maupun jauh, rekan kerja, murid dan semua orang yang kukenal rasanya tak ada yang absen. Bahkan banyak orangtua murid yang sengaja meluangkan waktu untuk datang menemuiku dengan memberikan dukungan, motivasi dan do’a mereka.
Setiap hari ada saja tamu yang datang. Terasa benar kebaikan mereka, baik berupa moril maupun materil yang sangat berarti bagiku. Aku tak mungkin bisa membalas budi baik mereka. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan berdo’a, semoga amal baik mereka dicatat dan mendapat imbalan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Jazakumullhi khairon katsiraa. Amiin!
Suatu hari salah seorang kerabatku bertandang ke rumah sambil membawa seseorang yang tak kukenal. Setelah dipersilakan duduk, lalu mengutarakan maksud kedatangannya, dia berkata, ”Sep! Saya sengaja membawa guru  saya ini untuk mengobati penyakit Asep”.
Aku terpana melihat sosok lelaki tua yang sudah beruban, giginya pun sudah ompong dan duduk di sampingku. Dia tak membawa peralatan medis apa pun. Selanjutnya lelaki tua itu mengajak bersalaman. Aku jabat tangannya yang agak keriput itu. Dia tak melepaskan jabat tangannya yang erat sambil bertanya kepadaku, “Apa keinginanmu sekarang?” Nada bicaranya pelan tapi pasti. Dengan tatapan matanya yang seolah-olah ingin meyakinkanku bahwa dia mampu mengobatiku.
Aku menjawab, “Ya, saya ingin sembuh! Saya tak mau cuci darah!”
“Bagus!” jawabnya.
“Caranya?” aku semakin heran.
Sebelum dialog berlanjut, aku menyuruh istriku untuk memanggil ayahku yang tak jauh rumahnya dari rumahku.
Sambil menunggu ayahku datang, lelaki tua itu mengusulkan agar aku menganggap dia sebagai orangtuaku sendiri dan dia akan menganggapku sebagai anaknya. Katanya agar hubungan pertalian batinnya semakin erat demi proses penyembuhan yang cepat.
“Siapa nama Ananda?” kata lelaki tua itu. “Saya, Asep Qoriin”, jawabku singkat.
Dia komat-kamit sambil memejamkan matanya.
“Kapan dan hari apa Ananda dilahirkan?”
“Hari Jum’at, tanggal 3 Februari 1967, pukul 13.00”.
Ayahku datang. Kami berlima duduk melingkar. Aku, istriku, kerabatku, lelaki tua itu dan ayahku.
“Nah, sekarang ada ayahnya. Siapa nama Bapak?” tanya lelaki tua itu.
“Saya, Oman Abdurrahman,” ayahku menjawab. Wajahnya masih diliputi rasa curiga dan heran.
 “Bapak tidak perlu merasa heran dan curiga pada saya,” lanjut lelaki tua itu sambil menatap ayahku. “Saya ke sini atas panggilan jiwa dan ikhlas menolong tanpa pamrih,” begitu katanya meraih simpati. Lelaki tua itu melanjutkan ceramahnya, “Mari kita kerjakan bersama! Ananda, mulai hari ini nama Ananda harus diganti!”
“Diganti nama?” aku tambah heran.
“Ya, Ananda harus berganti nama menjadi Asep Diman!” begitu katanya dengan nada meyakinkan.
“Bapak sebagai ayahnya, anak, istri dan semuanya harus memanggilnya, Asep Diman. Lupakan nama yang dulu itu sampai Ananda sembuh.”
“Waduh! Bagaimana dengan ijazah saya, SK dan berbagai macam dokumen pribadi saya?” protesku dengan cepat terlontar.
“Tidak apa-apa,ini hanya dalam waktu sementara saja. Nanti kalau penyakit yang Ananda derita sudah saya pindahkan, nama Ananda boleh dipakai lagi,” katanya.
Aku semakin heran, “Kok bisa? Mau dipindahkan ke mana?”
“Ke Jerman,” jawabnya mantap.
Aku, istriku, dan ayahku bengong. Kemudian kami saling menatap keheranan. Ayahku bertanya spontan dengan nada berseloroh, “Kalau begitu kasihan dong orang Jerman jadi menderita?”
“Enggak apa-apa orang Jerman ini!”
“Kasihan dong orang Jerman. Siapa tahu dia itu saudara kita juga.” ayahku semakin sengit.
Terjadilah perdebatan yang seru. Kerabatku berusaha meyakinkan kami akan niat baiknya, kami pun berusaha mempertahankan keimanan dan keyakinan kami akan takdir Allah yang tidak bisa dialihkan pada orang lain.
Kerabatku malah ngotot dan menyuruhku menuliskan bacaan seperti mantra atau jampi-jampi dalam bahasa Sunda buhun yang harus diamalkan setiap malam. Aku menuliskannya hanya sekedar untuk meredam kekecewaan niat baik Kerabatku itu. Aku takut tali persaudaraan kami putus gara-gara hal ini. Cukup panjang mantranya.
Harap maklum, aku tidak mau mencantumkan mantra tersebut di sini, takut menjadi kemusyrikan yang berlanjut.
Pertemuan itu bubar dengan tidak menghasilkan kesepakatan. Kerabatku dan gurunya pulang dengan memendam rasa kecewa.
Beberapa hari kemudian kerabatku bersama gurunya bertandang lagi ke rumah. Rupanya mereka masih penasaran.
Penyakitku sedang kumat. Tak bisa berpikir jernih, mudah marah dan tersinggung. Depresi berat, sehingga takut keimananku akan goyah dan terjerumus ke dalam kemusyrikan. Tak sudi keyakinanku tergadai demi kesembuhan. Aku bulatkan tekad untuk menolak mereka, tapi kondisiku sedang lemah, tak mungkin bisa berdebat panjang lebar. “Lebih baik menghindar.” pikirku saat itu.
Aku suruh istriku untuk menghadapi mereka. Aku yakin, dia akan mampu menyampaikan penolakan dengan baik. Istriku pasti tahu betul jalan pikiranku karena sudah belasan tahun kami hidup bersama menjalin rumah tangga.
“Kang! Kebetulan suami saya sedang kumat penyakitnya. Dia tak mau di ganggu,” begitulah istriku memulai argumentasinya. “Kami merasa bahagia dan berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Akang dan Bapak ini, karena ingin mengobati suami saya. Bukan berarti kami menolak kebaikan Akang, namun keyakinan kami masih belum bisa menerima cara pengobatannya. Kami hanya akan berusaha secara medis dan obat alternatif lainnya yang kami anggap logis. Kami yakin ini  ujian yang datangnya dari Allah. Jangankan suami saya yang laif, hina, dan hanya manusia biasa. Nabi Ayyub A.S. saja diuji oleh Allah dengan penyakitnya bertahun-tahun. Kami yakin, Allah tak akan keliru memberikan cobaan kepada hamba-Nya. Kami menerimanya dengan ikhlas.
Dalam hal ini mungkin persepsi kita tidak bisa sejalan. Mohon maaf, bila kami belum bisa menerima kebaikan Akang. Jangan sampai Akang kecewa sehingga tali persaudaraan kita menjadi retak. Sekali lagi kami mohon maaf!” Panjang lebar istriku berusaha menjelaskannya agar bisa diterima dengan baik.
Rupanya penjelasan istriku yang panjang lebar itu tetap saja membuat kecewa kerabatku dan gurunya. Entahlah, aku tak tahu. Tapi kami bisa memahami kekecewaan itu. Karena tidak berhasil memberikan pertolongan pada kami.
Satu setengah tahun berlalu. Kondisi badanku sudah agak membaik setelah menggunakan sistem CAPD. Aku sekeluarga sengaja datang ke rumahnya, tempat tinggal kerabatku itu. Dalam rangka memperbaiki silaturahmi agar tidak terputus, memanfaatkan momen Idul Fitri.
Begitulah, akibat dari beda keyakinan membuat tali persaudaraan pun nyaris terputus. Beda keyakinan (aqidah) tak bisa dijadikan alasan untuk bertoleransi. Tak ada kompromi. Tak ada alasan untuk menerima paham yang bisa menggelincirkan keyakinan terhadap Allah Swt, satu-satunya penolong jiwa. Allah-lah tempat bergantung. Allah-lah tempat meminta. Sesuai dengan firman-Nya :
“Qul aghairaallaahi attakhidzu wa liyyan faatirissamaawaati wal ardhi wahuwa yuth’imu wa laa yuth’amu. Qul innii umirtu in akuuna awwala man aslama wa laatakuunanna minalmusyrikiin.”
“Katakanlah (Muhammad), Apakah aku akan menjadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak memberi makan?. Katakanlah, Sesungguhnya aku diperintahkan agar aku menjadi orang yang pertama berserah diri (kepada Allah) dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am : 14)
“Bal iyyaahu tad’uuna fayaksyifu maa tad’uuna ilaihi insyaa a wa tansauna maa tusyrikuun.”
“(Tidak), hanya kepada-Nya kamu minta tolong. Jika dia menghendaki, Dia hilangkan apa (bahaya) yang kamu mohonkan kepada-Nya, dan kamu tinggalkan apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (QS. Al-An’am : 41)
“Innallaaha laa yagfiru an yusyriku bihii wa yagfiru maa dzaalika liman yasyaa u wa man yusyrik billaahi faqadiftaraa itsmaan ‘adziimaan.”
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa musyrik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (musyrik) itu, bagi siapa yang di kehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.” (QS. An-Nisa : 48)
Alhamdulillah, kerabatku yang lainnya masih bisa memahami kejadian ini, bahkan sekarang mereka semua paham betul bahwa penyakitku harus diobati secara medis, setelah tetangga mereka, yang merupakan muridku di SMP, juga harus cuci darah.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah dan bimbingan-Nya kepada kita semua. Amiin!

Obat Alternatif

Keyakinanku tak akan tegoyahkan, bahwa setiap penyakit itu mesti ada obatnya. Meski dunia medis mengatakan belum menemukan obat gagal ginjal dan tak mungkin bisa disembuhkan, tapi Alloh tak mungkin mengingkari janji-Nya, bahwa, “Setiap penyakit itu pasti ada obatnya.”
Jika sampai saat ini belum ditemukan obatnya, ya wajar saja. Sebab manusia itu masih terbatas pengetahuannya, ilmu Allah sangat luas sampai-sampai ada keterangannya, ”Andaikan lautan dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah tidak akan cukup“.
Terkadang aku punya imajinasi, “Mengapa para ahli yang sudah bisa memiliki ilmu pengetahuan cara mengkloning domba si Dolly yang menghebohkan dunia, bisa menciptakan domba yang sama persis dengan induknya dari sebuah sel, tidak mencoba membuat kloning ginjal yang rusak agar bisa diganti secara langsung dengan ginjal kloning yang sehat dari sel yang ada?”
Mungkin impian ini akan menjadi bahan tertawaan orang tapi biasanya penemuan baru itu berawal dari sebuah impian. Mengapa tidak? Kalau domba yang utuh dan bernyawa bisa dicloning, mengapa hanya sebuah organ tubuh yang vital itu tidak bisa dikloning ?
Masuk akal, bukan?
Mudah-mudahan di tahun 2015 impianku bisa terwujud! Sehingga ditahun 2020 dunia bebas penyakit gagal ginjal kronik.
Sebelum menuju kesana, kita sekarang masih berada di dunia primitif. Kita masih berusaha mengobati penyakit dengan cara-cara tradisional, aku pun menyadari hal itu. Maka, aku mulai mencoba berbekam. Mengeluarkan darah kotor dengan cara disedot, setelah permukaan kulitnya ditusuk-tusuk jarum, agar darah yang mengandung racun keluar bersamaan dengan darah yang menggumpal kehitaman. Beberapa kali dilakukan oleh seorang ahli bekam, racun di tubuh tetap tak berkurang.
Beralih ke pijat refleksi Pak TJ (45) yang terkenal dengan telapak tangannya yang mengeluarkan energi panas. Semula aku tak percaya, kalau telapak tangannya bisa mengeluarkan energi panas dan mengalirkan energi ke tubuh pasien, setelah kucoba, ternyata betul ada getaran dan energi panas dari tangan kosongnya.
Pijatannya tidak seperti pijatan refleksi umum yang hanya telapak kaki ditusuk-tusuk dengan stik. Ini lain lagi, seluruh tubuh dipijat dengan tangan kosong. Di sesi akhir pijatan, baru energi panasnya keluar. Telapak tangannya terasa panas dan meresap ke dalam tubuh terutama bagian yang sakit. Pasiennya banyak sekali. Segala penyakit bisa disembuhkan. Stroke, jantung bocor, kanker, bahkan gagal ginjal juga sanggup dia sembuhkan, tidak ditarif, prakteknya dari pagi sampai jam 12 malam, kalau pasiennya banyak. Setiap hari rata-rata dipijit 20 s.d 30 menit.
Ternyata suami adiku, Arif tertarik juga ingin mencoba telapak panasnya Pak TJ bahkan mertua adikku,Bpk. DR. KH. Aminudin Shaleh, SH. MM, Da’i kondang yang selalu mengisi pengajian di Radio Litasari mau mencobanya. Ya, mereka mengakui kehebatan tangan Pak TJ yang panas itu.
Bagaiman hasilnya?
Setelah berpuluh kali dipijat, aku mengecek kadar kreatinin dan ureum darahku. ternyata tidak ada perubahan.
Kemudian aku mencoba pijatan Pak M (47) orang Padalarang. Beliau menggunakan alat bantu listrik, energi listrik yang terhubung sengaja dialirkan ke tubuhku melalui telapak tangannya.
Betul, ada getaran arus listrik yang terasa hangat. Terbukti dengan tes pen yang menyala bila ditempelkan pada bagian tubuh yang mana saja di sekujur tubuhku. Hal ini bisa merangsang pertumbuhan sel ginjal agar bisa berfungsi normal kembali, katanya.
Proses pemijatan biasanya dilakukan di rumahku, karena Pak M bisa dipanggil. Tinggal di SMS saja, pasti ia datang. Memang air urineku semakin banyak, tapi hasil laboratorium masih menunjukan  kadar racun yang tinggi, walau sudah sebulan lebih  aku menjalani terapi ini. Akhirnya kuhentikan juga.
Alternatif lainnya adalah ion detox, yaitu cara tercanggih pengeluaran racun tubuh melalui detoxivikasi ion negatif dan positif. Memang tidak bisa dilakukan sendiri di rumah. Harus datang ke tempat ion detox. Biasanya aku melakukan ion detox di jl. Kerkof 53 Bandung. Sekali terapi kita harus merogoh kocek Rp 30.000,00 selama kurang lebih 20 menit.
 Caranya, pasien duduk di atas kursi, kaki pasien direndam pakai air agak panas di dalam waskom yang berisi kurang lebih 5 liter air agak panas dan sebuah alat elektromagnetik buatan Amrik yang bisa mengeluarkan ion negative dari pori-pori telapak  kaki . Pori-pori telapak kaki akan membesar jika dihangatkan dengan air, sehingga memudahkan pengeluaran racun yang berada di kaki. Air yang merendam telapak kaki tersebut akan berubah warna dari jernih menjadi abu-abu sampai kehitaman, seperti air comberan. Ada pula yang berwarna kecoklatan dan kehijauan sesuai dengan penyakit yang diderita si pasien. Memang masuk akal juga.
Janjinya 100% terbukti membuang toksin secara alami. Tapi setelah kucoba berulang kali, tak ada hasilnya. Hasil tes laboratorium tetap bertengger di atas rata-rata orang normal.
Cuci darah tetap kujalani, sambil terus berusaha mencari info tentang pengobatan alternatif yang tidak bertentangan dengan keimanan.
Ada yang menawariku agar berobat ke dr. H di Bogor yang bisa memindahkan segala macam penyakit pada seekor kambing dengan biaya sebesar Rp. 7 juta. Tidak kutanggapi, karena  aku tak percaya sama sekali. Masa ada penyakit bisa dipindah-pindah?
Awal Juli 2006 tiba-tiba ada seseorang yang menelpon kerumah, “ Hallo! Bisa bicara dengan Pak Asep ? “
 “Ya, Saya sendiri ! Ini siapa ?“  kataku masih belum mengenali suaranya.
“Saya Pak ! Asnali. Bapak masih cuci darah ke Habibie ? “ dia menyebutkan namanya dan bertanya.
“Oh, ya masih ! Tiap Senin – Kamis “ sahutku.
“Saya mah sudah berhenti Pak“ katanya.
“Oh, iya benar. Kemana aja Pak ? Sudah lama Saya tidak melihat Bapak. Kok bisa berhenti cuci darah segala. Tak mungkin ah !“ sergahku dengan nada tak percaya.
“Benar Pak ! Saya sudah hampir tiga minggu enggak cuci darah“ jawabnya sedikit meyakinkan.
 “Alternatif ya ?” aku menebaknya.
“Betul Pak !“
“Dimana ?“  tanyaku kemudian.
“Di jalan Sudirman, Refleksi !“ dia menerangkan.
“Enggak sesak napas atau bengkak ?“ tanyaku masih merasa kurang percaya. Tapi memang yakin, sudah hampir tiga minggu ini  Pak Asnali tidak bertemu saat cuci darah.
“Enggak Pak !“ Malah saya minum dan makan buah-buahan. Pernah saya coba makan buah semangka hampir habis 1 kg, enggak apa-apa.“ jelasnya agak panjang lebar.
“Oh, nantilah Saya diskusikan dulu dengan istri saya, ya Pak ! Kalau saya minat, saya akan menemui Bapak. Bolehkan ?“ tanyaku agak semangat.
“Boleh-boleh ! Ditunggu ya Pak !“
“Ya, terima kasih !“ kataku sambil menutup gagang telepon.
 Aku diskusikan hal ini dengan istriku. Dia masih was-was, karena baru saja mendengar kabar bahwa Pak Syamsudin, 60 tahun, telah meninggal dunia gara-gara berhenti cuci darah selama 3 minggu dan menjalani terapi pengobatan holistik di daerah Purwakarta.
Kesepakatan kami akhirnya yaitu akan menunggu perkembangan Pak Asnali satu minggu lagi. Kalau dia selamat, berarti aku jadi mengikuti terapi tersebut. Karena berhenti cuci darah itu suatu tindakan yang sangat berani. Mempertaruhkan nyawa sendiri, bukan main-main.
Minggu, 9 Juli 2006 setelah satu minggu kemudian, kuhubumgi lagi Pak Asnali. Dia masih belum cuci darah lagi, dan menyanggupi akan mengantarku besok sore ke tempat refleksi tersebut.
Selesai cuci darah hari Senin sore kutemui Pak Asnali di jln. Suci, belakang dealer Yamaha, Bandung. Dia kelihatannya agak loyo. Dagu kanannya bengkak. Berdasarkan pengakunnya dia menderita gondongeun. Padahal seminggu sebelumnya dia sudah kuat berbelanja dan berjualan sea food tengah malam sebagai profesinya yang telah digelutinya berpuluh-puluh tahun.
Khayalanku semakin melambung. Ingin cepat berobat seperti dia dan sehat lagi tidak perlu cuci darah.
Ruangan praktek refleksi kaki itu sempit sekali. Kira-kira 2x3 m. Seorang Tionghoa dari Bandung. Buka praktek 07.00 – 11.30 dan 17.00 – 20.00.
Pasiennya, wah membludak. Kata orang, penghasilannya berkisar antara Rp. 4 juta – 6 juta per hari. Setiap pasien paling lama mendapat pelayanan selama 5 menit. Tergantung berat tidaknya penyakit yang diderita. Jelas, antri !
Alat pijat refleksinya seperti stik ice cream, tipis dan agak runcing. Jadi, saat ditekan dengan stik itu rasanya panas sekali, nyeri dan menjalar ke sekujur tubuh. Semua pasien pasti menjerit kesakitan dan berkeringat menahan rasa sakit. Padahal tusukannya hanya sebentar.
Kaki sebelah kanan ±15 detik, kaki kiri ±15 detik. Sekali naik sepasang kaki tarifnya Rp. 20.000,00 kalau penyakitnya parah atau berat bisa sampai 5x. Jadi harus bayar Rp. 100.000,00.
Aku pun dapat 5x sesi, rasanya nyeri sekali. Hampir tak bisa berjalan, tapi badanku terasa segar. Aku tak pulang ke Garut, karena terapi harus dilakukan tiap hari pagi dan sore. Urineku yang keluar tambah banyak. Si Engko, begitu aku memanggilnya , melarangku cuci darah. “Jangan cuci dalah lagi, yang penting badan tidak bengkak, tidak sesak, kencing lancal, udah belalti kamu sembuh !” suaranya sengau dengan kata-kata tanpa bunyi [r].
Aku mencoba bolos cuci darah satu kali, pada hari Kamis 20 juli 2006. Tapi perasaanku agak was-was. Besoknya aku telepon Pak Asnali, ingin tahu kabarnya. Yang menjawab bukan dia malah anaknya, “Bapak mah enggak ada, sedang dirawat di RSHS.“
Sejenak aku terpana, “Emangnya kenapa ?“ tanyaku.
“Pingsan, dibawanya juga pakai ambulance !“ jawab anaknya.
Aku kaget setengah mati. Setelah kutanya ruangan tempat ia dirawat, aku segera menengoknya.
Benar saja, Pak Asnali tergeletak lesu dengan bantuan selang makanan ke lambung yang dimasukkan lewat hidung, dan oksigen. Sulit untuk diajak bicara. Nafasnya pendek-pendek. Pelipis kanannya tambah bengkak.
Istrinya bercerita sambil terisak-isak berurai air mata, bahwa Pak Asnali itu hiper kalemia dan uremia. Bengkak yang dideritanya bukan gondongeun, tetapi penumpukan racun, karena sudah berminggu-minggu tidak cuci darah.
Tubuhku langsung lemas keluar keringat dingin. “Mengapa dia tak pernah mengecek darahnya untuk mengetahui kadar racun di tubuhnya ?“ gerutuku dalam hati.
Pak Asnali merasa berdosa sekali  terhadapku, karena dirinya juga hampir tewas, dan menyuruhku berhenti terapi refleksi itu. Yah ! Gagal maning-gagal maning. Setiap alternatif tidak ada hasilnya, padahal biayanya cukup besar. Tapi itulah usaha kita. Manusia berusaha, Allah yang menentukan.
Bersabarlah !


Pengenalan CAPD


Senin, 24 Juli 2006. Aku kembali menjalani cuci darah. dr. Cut Indra yang kebetulan tugas jaga saat itu langsung menegurku, “Bapak kemana saja ? Kok, hari Kamis bolos ? Awas Pak ! Hati-hati, nanti drop lagi !“
Aku tersipu malu dan tak kuasa untuk menjawab jujur. “Eh, ini Dok ! Saya lagi liburan bersama keluarga. Tanggung !“
“Waktu hari Kamis itu kita membagikan undangan buat seminar CAPD hari Minggu Pak ! Jadi Bapak gak tahu dech, masalah CAPD.“ kata dr. cut Indra menerangkan. “Padahal, kalau untuk Bapak, CAPD itu sangat cocok. Bapak kan masih muda, masih aktif kerja, dan tempat tinggal Bapak jauh.“ lanjutnya.
Aku terperangah, “Wah, memangnya CAPD itu, apa Dok ?“
“ CAPD itu singkatan dari Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis. Sistem baru pengganti cuci darah, menggunakan cairan yang dimasukkan ke dalam perut, lewat selang kateter yang sudah dipasang paten sebelumnya. Bisa dilakukan sendiri di rumah.” dr. Cut menerangkan.
Aku semakin tertarik. “ Siapa Dok, yang sudah mengikuti program CAPD ?” aku langsung menyelidiki.
“ Sudah ada beberapa orang Pak! Dan mereka berhasil. Malah kemarin yang menjadi nara sumbernya pasien CAPD juga, Pak Dadan, dia sudah aktif lagi mengajar bahkan kuat bermain badminton. Dia sudah 7 bulan pakai CAPD.” jelas dr. Cut Indra.
Aku semakin terkagum-kagum dan tiba-tiba bangkit lagi semangat hidup baruku. Darahku meletup-letup. Jantungku berdetak kencang. Hasratku meronta-ronta. Yakin akan perkataan dr. Cut Indra, dia tak mungkin akan berbohong kepadaku.
Aku masih penasaran tentang Pak Dadan itu. Aku bertanya lagi “ Dimana Dok, rumahnya Pak Dadan itu?”
“Di Garut “ katanya singkat.
“Wah, kebetulan saya juga kan orang Garut. Di mana ya Garutnya?” tanyaku.
“Aduh, kurang tahu ya!” kata dr. Cut.
“Bisa minta nomor teleponnya?” pintaku.
“Oh, ya ada nih !” sambil menyodorkan nomor telepon rumah dan nomor HP-nya.
“Terima kasih Dok !”
“Ya, sama- sama !” jawab dr. Cut Indra sambil berlalu dari hadapanku.
Tiba di rumah, aku langsung menghubungi Pak Dadan. Dari caranya berdialog kelihatan bahwa dia dalam keadaan segar bugar, malah katanya ia sedang makan malam, dan tak ada masalah dengan nafsu makannya itu. Padahal, aku yang masih cuci darah sering kehilangan nafsu makan, tak bisa masuk sedikit pun walau makanannya serba enak. Kalau sudah demikian, paling-paling aku bisa pasrah saja. Berhenti makan pada suapan kedua atau ketiga. Selanjutnya, aku hanya bisa berdo’a sambil berlinang air mata kepada Allah Swt, agar aku selalu diberi energi dan kekuatan, agar selalu bisa beribadah walau tak ada makanan yang bisa masuk sedikit pun. Bebek peking, gepuk Ny. Ong maupun mie kocok yang dibeli dari jalan Suryani semuanya lewat. Padahal makanan tersebut merupakan makanan favorit orang sehat di kota Bandung. Tak ada rasa nikmat, lezat, apa lagi hasrat yang lahap ketika memakannya. Sehingga, saat Pak Dadan  menerangkan bahwa dia bisa menikmati berbagai macam makanan dengan baik, aku tergiur menelan air liur ingin seperti dia.
Berat badanku sudah turun 12 kg dari berat normal saat sehat dulu. Asalnya 56 kg, sekarang setelah 4 bulan cuci darah hanya tinggal 44 kg.
Besoknya, aku ceritakan semua itu kepada orang tuaku dan sahabatku, Pak Jejen. Mereka mendukungku untuk mengikuti program CAPD. Tapi, syaratnya harus dibuktikan dahulu bahwa Pak Dadan itu benar-benar dalam keadaan bugar. Jangan seperti Pak Asnali yang dulu hampir KO.
Oke! Kami sepakat untuk pergi menemui Pak Dadan yang ternyata tempat tinggalnya di Pamijahan, Tasikmalaya. Lumayan jauh, jaraknya ±120 km dari rumahku.
Jum’at, 28 Juli 2006 kami menemui Pak Dadan, guruku masalah CAPD. Kami berangkat pukul 08.00 diantar sahabat setia Pak Jejen bersama istrinya, anak istriku juga tak ketinggalan.
Hanya tinggal beberapa kilometer lagi, perjalanan harus terhenti karena hampir memasuki waktu Dhuhur. Shalat Jum’at tak bisa kami tinggalkan. Sebuah mesjid yang cukup besar, jamaahnya pun cukup banyak. Sayang, karpetnya hanya ada pada barisan depan. Pantatku kesakitan, saat duduk di atas keramik, karena otot pantatku sudah habis terkikis mesin cuci darah.
Waktu khotib berkhutbah terasa lama sekali, padahal Cuma 15 menit. Posisi dudukku sudah miring ke kiri miring ke kanan. Sesekali telapak tanganku dipakai sebagai alas duduk. Ibadah Jum’atku tak khusyu.
Sengaja, hal ini aku ungkapkan agar pembaca bisa membayangkan betapa kerempengnya tubuhku yang tak berotot seperti dulu.
Ba’da shalat Jum’at kami meneruskan perjalanan.
Rumah Pak Dadan berada di lokasi berziarah, Pamijahan, tak bisa di lewati mobil. Aku naik ojeg, yang lainnya jalan kaki.
Kebetulan Pak Dadan sedang mengganti cairan di perutnya. Jadi aku bisa melihat secara langsung bagaimana proses refill cairan dianeal CAPD berlangsung.
Praktis sekali, tinggal menyambungkan kateter yang terpasang di perut secara paten di sebelah kanan pusar, dengan selang berbentuk Y yang tersambung dengan 2 (bag) kantong plastik. Kantong (bag) yang satu berisi cairan dianeal seberat ±2 kg, dan satunya lagi bag kosong.
Setelah transferset tersambung dengan selang Y tadi, maka selang yang berisi cairan di gantung di atas, agar dengan gaya grafitasi airnya bisa turun untuk mengisi perut yang telah dikosongkan atau dikeluarkan cairannya. Jadi, prosesnya itu harus mengeluarkan dulu cairan yang sudah tersimpan di perut selama  ±6 atau 8 jam.
Cara mengeluarkan cairan dari perut, masih sama menggunakan gaya grafitasi. Pasien duduk di atas kursi, bag yang kosong ditaruh di bawah. Setelah kateter tersambung dengan selang Y, bukalah kran pada kateter (transferset) itu dengan cara memutarnya ke kiri, maka mengalirlah cairan dengan derasnya. Sampai benar-benar habis. Biasanya maximum 20 menit.
Kemudian tinggal memasukkan cairan yang sudah digantung di atas. Caranya, stop dulu bagian pengeluaran dengan memasang kleman pada selang pengeluaran. Anda buka pengaman isi cairan dengan mematahkan plastik penutup selangnya yang berwarna hijau. Mengalirlah cairan dianeal ke perut Anda selama ±10 menit.
Simpel sekali, hanya membutuhkan waktu ±30 menit sekali refill. Sungguh sederhana, tidak membutuhkan orang lain. Jangan lupa! Tempat dan tangan Anda harus benar-benar bersih (steril), bahkan harus memakai masker selama refill berlangsung.
Jika kebetulan Anda pasien cuci darah dan berminat untuk beralih ke CAPD jangan takut dulu, karena nanti juga akan mengikuti pelatihan selama 3 hari, bahkan sampai benar-benar mahir melakukan refill sendiri.
Mulai dari cuci tangan, refill, sampai dressing (ganti perban).
Selesai refill, Pak Dadan dan Bu Dadan bergantian menerangkan keuntungan lain dari CAPD.
“Pak, badan saya jadi gemuk lagi sekarang.” katanya.
Kami semua menyimak kisah mereka berdua.
“Dulu waktu cuci darah, saya kurus, sekarang pulih lagi. Makanan bersantan, sayuran, buah-buahan juga bebas. Tidak usah takut hiper kalemia. Konsumsi obat tensi berkurang. Tidak capek bolak-balik ke Bandung. Ah, terasalah bedanya. Cairan diantar sampai ke rumah tiap bulan. Saya bisa berolah raga lagi, main voli, sepak bola bahkan badminton.”
“Saya hobinya olah raga !” begitu Pak Dadan menerangkannya pada kami.
Tekadku untuk beralih ke CAPD semakin bulat, setelah melihat dengan mata kepala sendiri kondisi Pak Dadan yang bugar dengan CAPD.
Terima kasih Pak Dadan atas segala kebaikannya, dan kesediaan Bapak sebagai nara sumber yang sering kutanya. Aku jadikan acuan dan motivator untuk kesembuhanku di masa depan.

 
 Kateter Penyambung Hidup

Kondisi badanku semakin lama semakin lemah. Setiap pulang cuci darah mesti disambut oleh tukang pijat, agar pegal linu di sekujur tubuh dan sakit kepala yang hebat bisa agak reda. Perjalanan pulang dari RSKG selalu merepotkan. Muntah-muntah, pusing dan kehilangan tenaga, terkadang badan menggigil disertai gatal-gatal.
Aku sadar betul, kalau keadaanku terus menurun, pasti suatu saat nanti terjadi klimaks sampai tubuhku ambruk tak berdaya sama sekali, sehingga kematianlah yang mengakhirinya. Padahal aku baru menjalani cuci darah selama ±4 bulan, apalagi kalau harus bertahan sampai satu atau dua tahun. Rasanya tak mungkin, aku bisa pulih lagi. Saat itu aku sangat pesimis, merasa tak berguna malah merasa hidup ini hanya sebagai parasit atau benalu bagi orang lain. Selalu merepotkan istri, anak-anak, orang tua, tetangga, sahabat-sahabatku yang selalu mengantarku ke Bandung untuk menjalani cuci darah secara rutin. Begitu juga adik-adikku yang tak pernah ketinggalan.
Mereka selalu bergantian, aku selalu berprasangka jelek (su’udzon) bahwa sekali atau dua kali mereka mengantar itu merasa senang dan rela. Tapi kalau sudah tiga kali, empat kali atau bahkan seumur hidupku harus selalu diantar, didorong di atas kursi roda, dan ditunggui sampai berjam-jam selama cuci darah. Apa mereka masih ridho ? Masih ikhlas? Rasa-rasanya sangat mustahil, karena mereka itu hanyalah manusia biasa bukan malaikat, bukan pula sebagai robot yang tak memiliki nafsu dan keinginan masing-masing.
Namun, setelah aku melihat Pak Dadan yang kelihatan bugar dengan cara yang tidak merepotkan orang banyak, maka motivasiku untuk melanjutkan perjuangan hidup pun bangkit lagi. Rasa pesimis berubah arah jadi optimis menyongsong masa depan yang lebih cerah. Hidup yang berkualitas, ibadah yang lebih khusyu, dan bertugas lagi sebagai seorang pendidik di sekolah dengan baik, siap kulaksanakan.
Harapan sembuh dan impian untuk keluar dari lilitan mesin cuci darah, segara aku tindak lanjuti dengan memeriksakan diri ke dr. Ria Bandiara, yang buka praktek di depan RRI Bandung.
Senin, 31 Juli 2006 sepulang cuci darah pukul 17.00 WIB, aku bertemu dengan dr. Ria. Pemeriksaannya sebentar ±1 menit, tapi ceramahnya banyak sekali tentang CAPD. Hampir semua kisah hidup pasien CAPD yang ditangani beliau, diceritakannya kepadaku dengan penuh semangat, menarik dan membangkitkan motivasiku untuk sembuh.
Hal ini aku lakukan atas saran Pak Dadan, karena yang menangani masalah CAPD di Bandung itu dr. Ria Bandiara. Penjelasan dr. Ria hampir sama dengan informasi yang kudapat dari Pak Dadan, hanya ia menjanjikan secepatnya menghubungiku jika ada ruangan di RSHS yang kosong. Agar operasi pemasangan kateter cepat dilakukan, karena ia akan pergi ke Cina. “Pak Asep! Sekarang Bapak pulanglah ke Garut. Saya minta photo copy Askes saja, dan nomor telpon Bapak, agar saya bisa memesan ruangan kosong di RSHS, dan nanti, saya hubungi Bapak.” begitu katanya.
Rupanya tidak perlu menunggu lama, besoknya dr. Ria menghubungiku lewat telpon, agar sore harinya segera masuk RSHS, karena siangnya ada pasien yang mau pulang. Aku dan keluarga bahagia sekali.
Selasa, 1 Agustus 2006 pukul 17.00 WIB, aku masuk RSHS di ruang 10 B. jadwal operasi pemasangan kateter hari Kamis 3 Agustus 2006 pukul 10.00 WIB.
Sungguh, suatu proses yang sangat cepat. Tidak perlu menunggu lama untuk beralih ke CAPD. Suatu anugerah dari Alloh SWT sesuai janji-Nya pada QS. Al Insyiroh ayat 5 dan 6, “Maka sesungguhnya didalam kesukaran itu ada kemudahan. Sesungguhnya didalam kesukaran itu ada kemudahan.” 
Operasi pemasangan  kateter di perut, sebelah kanan pusar berjalan mulus selama 45 menit. Mulai pukul 11.00 WIB sampai dengan 11.45 WIB. Tanpa anestesi total. Sehingga aku tahu persis, menjalani proses operasi dengan penuh kesadaran.
dr. Cahyo sebagai ahli bedah yang memimpin jalannya operasi. Mas Slamet perawat dari RSKG dan istrinya yang kebetulan perawat di RSHS ikut membantu dan menyaksikan jalannya operasi.
Alhamdulillah,  kateter penyambung hidup sudah terpasang. Sujud syukurku hanya kepada Alloh Yang Maha Kuasa.
 Kateter yang terbenam ke dalam perut  ±20 cm dan yang di luar  ±40 cm.
Ya, kateter itu harus selalu terpasang seumur hidupku, akan selalu setia menempel dan bergantung, di mana pun aku berada dan ke mana pun aku pergi, selamanya.
Orang-orang yang kucintai sudah menunggu di ruang tunggu. Begitu terdengar panggilan dari seorang perawat, “Keluarga Bapak Asep Qori’in!” katanya dengan nada yang agak keras sambil mencari keluarga kami.
Semuanya menyambutku dengan isak tangis bahagia, sedih, haru dan iba melihatku yang masih terbaring di atas belangkar, karena perutku sudah dipasang aksesoris.
Biar tidak mengganggu aktifitas dan tidak merasa risih, takut menyangkut atau tertarik-tarik, maka  kateter luar harus dimasukkan ke dalam kantong yang berupa ikat pinggang.  Kateter akan aman dan steril.
Aku berharap proses selanjutnya bisa berjalan lancar.
Beberapa jam setelah operasi, reaksi obat anestesi sudah hilang. Begitu tiba di ruangan asalku dirawat. Aku menjerit-jerit kesakitan, kebetulan dr. Ria datang menjenguk. Sambil meneteskan air mata karena menahan rasa sakit, aku berkata, “Aduh, Dok sakit banget!”
dr. Ria menjawab sambil menepuk-nepuk pundakku, “Aduh, kacian.. Pak Acep.. Cup..cup.. cup…! Cakit ya?” gayanya seperti seorang ibu yang berusaha membuat berhenti tangis seorang bayi sambil menuliskan resep, “Ini obatnya, nanti diminum ya! Agar tidak sakit lagi.”
Aku nyengir kuda sambil menahan rasa sakit, dan perih bekas sayatan pisau operasi.

 
Bapak Jadi Robot

            Selesai pemasangan  kateter CAPD, tidak bisa serta merta langsung dipergunakan. Aku harus bersabar menunggu selama 2 minggu. Selama itu pula aku harus menjalani cuci darah.
Hari Jum’at  4 Agustus 2006 aku kembali bertandang ke RSKG untuk menjalani cuci darah yang seharusnya hari Kamis, karena aku menjalani operasi pemasangan  kateter. Dokter, suster, dan para perawat RSKG  lainnya merasa kaget, terutama dr. Cut Indra dengan begitu cepatnya aku pasang  kateter CAPD. Padahal pasien lain banyak yang mau pasang, masih belum terlaksana. Sampai-sampai dr. Cut berkomentar, “Aneh ya Pak Asep ini, gak ikut seminar CAPD, tapi malah Pak Asep yang duluan pasang CAPD?”
Aku tak berkomentar, hanya tersenyum bahagia.
Selama dua minggu aku masih menjalani cuci darah. Namun waktu yang dua minggu itu tidak terlalu mulus kujalani.
Kamis 10 Agustus 2006, RSKG Ny.R.A.Habibie berulang tahun. Seluruh pasien dibagi konsumsi makanan berat berupa nasi lengkap dengan lauk pauknya di dalam kotak plastik. Aku pun menerima nasi kotak tersebut. Aku tergiur dengan apel merah yang ada dikotak plastik itu
Aku beranggapan tidak akan terjadi apa-apa walaupun aku makan apel itu sampai habis, karena sedang menjalani cuci darah. Kaliumnya pasti terbuang.
Dugaanku, salah ! Aku mengalami hiper kalemia. Sabtu sore aku mulai sesak napas, malamnya tak bisa tidur. Detak jantung terasa berat dan agak nyeri. Aku bertahan sampai Minggu pagi, padahal cuci darah seharusnya hari Senin.
Minggu pagi aku minta OT (over time) cuci darah di luar jadual.
Tiba di RSKG aku diomeli 2 orang perawat, “ Pak Asep, sabar dong! Jangan dulu makan buah-buahan yang berlebihan, tinggal beberapa hari lagi Pak Asep bebas makan buah, kalau CAPD-nya sudah dipakai boleh makan buah yang banyak. Buktinya seperti ini, kalau Pak Asep enggak bisa nahan!”
Sambil tersengal-sengal aku masih sempat menjawab, “ Hanya sedikit kok! Hanya sebuah apel merah kecil. Itu pun pemberian dari sini.”
Mereka tak menghiraukan lagi jawabanku, malah langsung pasang mesin EKG. Untuk mengetahui kondisi jantungku setelah jarum pistula terpasang, tidak ketinggalan selang oksigen.
Nazla, anakku yang ke tiga, yang baru masuk SDIT kelas 1, terbengong-bengong melihatku. Mungkin di hati dan pikirannya merasa heran, “Mau diapakan lagi ayahku ini? Dulu dia sudah dioperasi usus buntu, operasi AV shunt, kemarin operasi pemasangan  kateter CAPD, sekarang dipasang tiga selang cuci darah dan oksigaen ditambah lagi banyak kabel yang tersambung ke komputer dari sekujur tubuh?”
Dengan raut wajah yang ketakutan anakku bertanya, “Bapak, mau diapakan lagi?” tatapannya penuh ketakutan. Aku menjawab dengan maksud bercanda, “Sayang! Bapak sekarang mau dijadikan robot oleh dokter. Tuh lihat, ya!” sambil menunjuk ke mesin EKG.
Kebetulan perawat mau menekan tombol “enter“, berbarengan dengan suara “trek” tombol yang ditekan dan keluar bunyi dari printernya. Aku pura-pura bergerak seperti vampire, mengacungkan tangan sedikit dan membelalakkan mata sambil melotot ke arah anakku. Aku berkata “ Ha…..!”
Nazla, anakku tersentak kaget semua keluargaku yang ikut mengantar dan para perawat tertawa, karena mereka tahu aku hanya bercanda.
“Wah, Pak Asep masih saja bercanda, biar pun kondisinya sedang kritis. Aneh ya?” komentar perawat.
Besoknya, anakku Nazla baru bangun tidur. Dia menangis terisak-isak seperti ketakutan.
“Kenapa kamu menangis? Baru juga bangun.” tanyaku.
Dia tidak menjawab, tapi memelukku erat-erat. Sambil terisak-isak dia bicara,
“Mimpi!”
“Mimpi apa?” tanyaku heran.
“Mimpi Bapak dijadikan robot.” jawabnya ketakutan.
Aku tertawa, kasihan dan heran dengan reaksi anakku. Padahal niatku hanya bercanda. Kok, begitu mendalam dan melekat di pikiran anak? Sampai terbawa mimpi segala. Aku  berusaha menenangkannya dan meyakinkannya bahwa aku tak mungkin akan dijadikan robot.


Kemerdekaan

Kamis 17 Agustus 2006, hari kemerdekaan RI yang ke- 61 adalah hari kemerdekaanku dari cuci darah. Hari kemerdekaanku dari tusukan jarum pistula, hari kemerdekaanku makan buah apa saja dan lebih banyak. Hari dimulainya pergantian cuci darah dengan CAPD.
Ya! Masa pelatihan tiga hari mulai 17 sampai 19 Agustus 2006.
Mas slamet, sebagai perawat yang teliti dan telaten, memulai pelatihan refill CAPD dan dressing penutup luka bekas operasi, di bawah pengawasan dr. Rusma.
Pengalaman pertama refill memang agak menyakitkan. Saat cairan masuk, usus di dalam perut serasa ditumbuk-tumbuk, nyeri sekali. Perlahan, setetes demi setetes dianeal dipaksakan masuk.
Alhamdulillah bisa sampai 1000 ml/kg, walaupun waktunya hampir 30 menit. Cairan harus disimpan di dalam perut selama 4 sampai 5 jam. Aku boleh keluar dulu, jalan-jalan, sambil menunggu waktu refill kedua. Refill kedua bisa memasukkan cairan dianeal 1,2 kg. Ya, agak lancar. Waktu luang aku pakai bercengkrama dengan teman-teman sependeritaan cuci darah. Mereka banyak yang mengucapkan selamat. Dan mereka akan merasa kehilangan, karena aku tidak akan cuci darah lagi bersama mereka.
Aku pun menjadi terharu, bahagia dan merasa akan kesepian.
Tidak ada teman sependeritaan untuk berbagi cerita tentang keluhan dan berbagi makanan, bercanda dan lain-lain.
Pak Kurnia berkomentar, “Wah kalau Pak Asep berhenti cuci darah, Saya pulang ikut siapa?” karena ia berasal dari Garut dan sering ikut pulang bareng denganku.
“Iya, di sini juga jadi sepi, Pak Asep kan suka bercanda!”  kata Pak Agus Berlian. Komentar yang hampir sama terlontar juga dari Ceu Eros, Bu Kartini, Pak Rukmana dan yang lainnya. Aku bersalaman dengan seluruh pasien di ruangan itu. Karena dengan mereka semua aku merasa dekat seperti dengan keluarga sendiri.
Pak Asnali yang sedang duduk di kursi roda. Aku salami, padahal sebenarnya aku mau mengobrol banyak kepada Pak Asnali, tapi waktunya kurang tepat. Dia akan pulang. Kursi rodanya didorong anak istrinya. Akhirnya aku hanya berkata, “ Pak! Besok Saya ke rumah Bapak ya! Bolehkan?”
“ Oh, boleh Pak! Saya tunggu.” katanya.
“ Insya Alloh Pak, ya! Besok Saya punya waktu. Sambil menunggu refill yang siang.” kataku.
Pak Asnali kelihatannya payah. Nafasnya pendek-pendek, badannya loyo, di wajahnya masih ada benjolan sebesar telur bebek yang dulu ia katakan sebagai gondongeun, bekas penumpukkan racun akibat tidak cuci darah selama 4 minggu, dan sekarang  cuci darahnya harus 3x seminggu, agar racunnya cepat terkuras.
“Kasihan dia!” gerutuku dalam hati.
Refill terakhir hari pertamaku dilakukan pukul 20.45 WIB. Cairan bisa masuk 1,4 kg. Alhamdulillah lancar.
Pulang ke Saibi aku dijemput Arif, suami adikku. Di jalan aku makan malam dulu karena merasa lapar dan kelelahan. Walaupun perutku terasa sesak, dengan cairan 1,4 kg. tetapi untuk makanan tetap lapar karena beda saluran. Kami memesan beberapa puluh tusuk sate sapi, di sebuah kedai makan pinggir jalan.
Pengalaman hari pertama refill CAPD sungguh mencengangkan, sungguh di luar dugaan, karena indra pencecapku seolah kembali normal. Rasa asin, manis, gurih, lezat dan nikmat kembali kurasakan saat ini. Tusuk demi tusuk sate kunikmati dengan lahap.
  Aku bersyukur kepada Allah, karena kenikmatan makan yang pernah hilang sejak enam bulan yang lalu sekarang sudah kembali. Perutku kenyang sekali, aku puas. Keringat mengucur keluar dari jidatku. Air mata bahagia dan sedikit ingus, akibat cabe dari acar yang kumakan, keluar berbarengan. Alhamdulillah, Ya Allah!
Malam itu pun, aku tidur pulas. Tidak seperti malam-malam sebelumnya.


 Wisata Rohani

Alhamdulillaahilladzi ahyanaa ba’da maa amaatana wailaihinnusuur.” Begitu do’a yang kupanjatkan saat bangun dari tidur yang lelap dan nyenyak. Tidur nikmat yang begitu kurindukan berbulan-bulan karena terganggu berbagai keluhan. Kini aku bisa menikmatinya kembali. Terima kasih, Ya Allah!
Jum’at, 18 Agustus 2006 pagi itu aku merasa lebih siap hidup, menyongsong masa depan. Fresh, cool dan lebih bugar setelah berwudlu dan menjalankan sholat subuh dengan khusyu. Lengkaplah kenikmatan hidup ini dengan secangkir kopi susu yang dihidangkan istriku tercinta.
Program pelatihan refill hari kedua harus segera dimulai. Aku bersama istri bergegas lagi pergi ke RSKG.
Mas Slamet sudah siap bertugas sebagai instruktur pelatihan. Aku bersama istriku langsung naik lift menuju lantai III ruang CAPD.
Proses refill memang agak lama dari ketentuan waktu ideal 30 menit ternyata molor sampai 1 jam, karena masih terasa nyeri waktu memasukkan cairan. Selisih volume cairan masuk dan keluar hanya 50 ml/0,5 ons dari 1400 ml menjadi 1450 ml.
Pukul 08.40 WIB, aku memiliki waktu luang sampai nanti refill kedua pukul 14.00 WIB. Nah, waktu luang tersebut akan digunakan untuk berkunjung ke rumah Pak Asnali yang sudah begitu tulus mengajakku berobat refleksi, agar bisa berhenti cuci darah. Walaupun pada akhirnya, kejadian itu menjadi malapetaka bagi dirinya, yang harus ditebus dan dibayar mahal dengan dirawat di ICU RSHS dan menjalani cuci darah 3x seminggu sampai penumpukan racunnya benar-benar habis dan kondisi kesehatannya pulih lagi. Aku berniat mengajaknya beralih ke CAPD. Makanya kupersiapkan segala brosur, gambar dan tulisan tentang CAPD.
Begitu tiba di rumah Pak Asnali, aku disambut senyum ramah anak istrinya dan disuguhi berbagai makanan dan minuman.
Pak Asnali masih berbaring lesu di kamarnya sambil menghirup oksigen dari tabung gas kecil yang dimilikinya. Kelihatan wajahnya pucat, nafasnya sesak. Tapi dia memaksakan diri keluar kamarnya. Aku melarangnya. Dia memasuki ruang tengah dengan susah payah, ke tempat kami duduk.
“Biar saja Pak! Bapak di kamar istirahat. Jangan memaksakan diri!” kataku.
“Ah, enggak apa-apa Pak! Saya malu oleh Bapak, sudah mengajak Bapak ikut direfleksi, malah saya jadi begini.” Pak Asnali seolah menyesali perbuatannya.
“Sudahlah Pak! Jangan disesali, kejadian itu anggap saja tak pernah terjadi. Saya datang ke sini justru ingin mengajak Bapak beralih ke CAPD. Agar Bapak bisa sehat lagi. Saya merasakan perubahan positif, walaupun baru sehari saya pakai.” aku mulai menguraikan masalah CAPD dengan sedetil-detilnya sampai dia benar-benar mengerti keuntungan dan kerugiannya. Segala gambar, brosur dan tulisan tentang CAPD aku kupas tuntas.
Tidak hanya Pak Asnali, keluarganya pun kelihatannya mengerti dan merasa tertarik dengan system CAPD. Kemudian aku bertanya masalah Askes Keluarga Miskin (Gakin) sebagai kartu jaminan dari pemerintah. Kalau tanpa Askes Gakin pasti akan terasa berat. Biaya oprasi pasang carteter saja hampir Rp. 9 juta, belum cairan dianeal dari Enseval ±Rp. 4 juta s/d p. 4,5 juta per bulan.
“Askes Gakinnya punya?” tanyaku penasaran.
“Waduh, enggak punya Pak! Ada juga Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang harus diperbaharui tiap bulan. Ini juga susah mengurusnya. Anak saya sudah mencoba mengurus pembuatan Askes Gakin, malah diping-pong, ke sana ke mari. Akhirnya kembali ke SKTM.” jelas Pak Asnali.
Aku terdiam. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, bingung.
Waktu terus berjalan. Shalat Jum’at sebentar lagi. Aku melirik jam tangan dan mengajak Pak Asnali Shalat jum’at, “Pak, kuat Shalat Jum’at enggak?”
“Wah, rasanya tidak akan kuat! Silakan Bapak saja! Saya Shalat Dzuhur saja di rumah.” jawab Pak Asnali pelan.
“Ya, enggak apa-apa Pak! Biar saya sendiri ke Mesjid. Titip istri saya di sini, ya Pak?” kataku dengan nada bercanda.
“Ya! Pokoknya istri Bapak dijamin utuhlah! Tenang saja!” sambil memaksakan diri tersenyum Pak Asnali memberikan jaminan.
Sebelum khotib naik ke mimbar, DKM mesjid memberikan pengumuman mengenai uang infak, nama khotib dan imam Jum’at serta pengumuman warga sakit. Terngiang di telingaku bagian pengumuman mengenai Pak Asnali. “Bapak-bapak ahli jum’at, kami mohon do’anya demi kesembuhan salah seorang warga kita yang sedang mengalami cobaan dari Alloh Swt. Pak Asnali, beliau sedang menderita penyakit yang serius. Mudah-mudahan Pak Asnali diberi kesabaran, dan keikhlasan menerima ujian ini. Dan cepat-cepat disembuhkan kembali seperti sedia kala agar bisa beribadah bersama-sama seperti kita semua. Mudah-mudahan deritanya dijadikan kifarat dan penebus dosa. Keluarganya diberi kesabaran dan ketabahan serta menjadi amal sholeh di hadapan Allah Swt. Amiin! Alfatihah!
Semua jama’ah tertunduk kepalanya memanjatkan do’a kepada Allah Swt demi kesembuhan Pak Asnali, begitu juga diriku.
Aku tak kuasa menahan air mata sebagai rasa iba dan haru. Batinku terus berceloteh tentang penyesalan dan ketidak berdayaanku untuk menolong dan mengajak Pak Asnali beralih ke CAPD.
Air mataku semakin deras, saat terbayang di benakku orang-orang yang mendo’akan kesembuhanku. Pasti, setiap jama’ah Juma’t di kampung halamanku, murid-muridku dan rekan-rekan guru di SMPN 1 Banyuresmi selalu memanjatkan do’a bagiku. Belum lagi orang tua, anak istri, adik-adik, ibu-ibu pengajian hari Kamis, bahkan ibu-ibu pengajian Minggu yang diselenggarakan oleh ibu mertuaku di Gunung Halu, Cililin tak terlewatkan. Terus berkelebat di dalam bayanganku.
Berkat do’a mereka semua, Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang memberikan kemudahan bagiku untuk sembuh. Aku yakin dengan haqqul yakin bahwa Allah akan memberikan jalan keluar atau obat untuk penyakitku ini. Tangis rasa syukurku semakin menjadi-jadi, setelah kejadian tadi.
Aku benar-benar bisa membayangkan kejadian nanti di hari pembalasan. Ketika seorang manusia tidak bisa memberi atau meminta pertolongan dari yang lainnya. Walaupun hubungan mereka itu sebagai ibu-anak, ayah-anak, suami-istri, murid-guru, rakyat-pemimpin. Apalagi hanya sebagai sahabat. Semuanya tergantung pada amal baik atau buruk dia sendiri saat hidup. Jangankan di akhirat, di dunia saja hal ini bisa terbukti.
Sebagai bukti empirik. Aku yang kebetulan berbekal sedikit ilmu dan kuamalkan sebagai guru SMP selama 17 tahun menjadi PNS, balasannya sudah terasa. Punya Askes, sehingga berbagai biaya operasi atau untuk persediaan cairan dijamin gratis. Padahal bagi orang lain belum tentu bisa didapat dengan cuma-cuma. Kemudian, aku tidak bisa mengalihkan fasilitas yang bisa kuterima kepada orang lain. Sedangkan Pak Asnali yang berprofesi sebagai pedagang sea food, dia tidak bisa mendapatkan fasilitas itu, karena tak memiliki Askes. Keinginannya untuk memiliki Askes Gakin pun harus dia pendam dalam-dalam karena berbagai kendala birokrasi.
Rohaniku semakin terbang jauh membayangkan rekan-rekanku senasib lainnya yang tidak memiliki Askes. Pak Kurnia, Pak Agus Berlian dan seorang pasien yang marah-marah di ruang tunggu gara-gara tidak bisa cuci darah karena tidak memiliki uang Rp. 399.000,00 padahal kepalanya sudah tak tahan menahan sakit akibat kadar ureum dan kreatinin yang tinggi.
Bagaimana jadinya Pak Kurnia, Pak Asnali, dan yang lainnya bila sudah kehabisan materi untuk transport dan bayar cuci darah? Bila profesinya tak bisa menghasilkan uang karena tak bekerja. Sedangkan kondisinya sangat mengkhawatirkan. Jangankan berpikir dan berusaha mencari uang, menyiapkan mental dan kesabaran menghadapi penyakit yang mereka derita saja sudah berat. Aku tak habis pikir, bagaimana jadinya ketika mereka pada akhirnya pasrah, menyerah dan terkapar dalam kondisi yang mengenaskan.
Ih… bayanganku semakin ngeri!
Kembali aku menafakuri kemurahan Allah yang Maha Rahiim. Aku bersyukur sekali kepada- Nya. Aku diberi kemudahan, kelancaran dan jalan keluar dari penderitaan yang menjadi momok bagi banyak orang. Cuci darah, selamat tinggal!
Mataku bengkak dan merah. Tangisku tak bisa berhenti sampai khotib selesai berkhutbah, bahkan shalat Jum’at dan ba’da shalat pun aku masih juga menangis.
Baru kali ini, aku merasakan khusyunya Shalat Jum’at dan merasa begitu dekatnya dengan Allah yang membimbingku menuju kehidupan baru, yang lebih baik. Sujud syukurku pada raka’at akhir shalat serasa sempurna, berterima kasih tiada hingga kepada- Nya.
Sulit menyembunyikan wajahku yang berantakan habis menangis. Aku merasa sedih dan menyesal sekali tidak bisa menolong Pak Asnali. Makanya, aku bergegas berpamitan dan mengajak istriku menuju RSKG untuk melanjutkan proses pelatihan refill CAPD.
Di perjalanan, istriku mengintrogasiku dengan nada penuh keheranan. Karena mataku bengkak, memerah, dan masih sembab. Dia bertanya, “Kenapa Pak? Ada apa? Cerita dong! Mimih siap mendengarnya!”
Aku tidak menjawab, malah tangisku semakin menjadi. Sambil kupegang erat tangannya, aku berurai air mata dan menceritakan wisata rohaniku kepadanya.
Akhirnya, istriku juga ikut menangis. Tangis bahagia, karena besok kami akan pulang, dengan keterampilan refill dianeal CAPD dan dressing penutup luka.
Akhir Desember 2006, aku kembali merindukan Pak Asnali. Hampir satu minggu aku selalu teringat padanya, karena aku sudah berhenti cuci darah hampir 4 bulan sehingga aku tak pernah mendengar kabar beritanya. Segera aku menelpon ke rumahnya untuk mengetahui keadaannya. Kebetulan yang mengangkat gagang telepon itu bukan dirinya, bukan pula istrinya, melainkan anaknya.
“Assalaamu’alaikuum!” katanya.
“Wa’alaikuum salaam!” jawabku.
“Dengan siapa ya?” tanya dia.
“Saya, Asep Qori’in dari Garut, bisa bicara dengan Pak Asnali?” aku sudah tak sabar ingin mendengar suaranya.
“Oh…, Bapak mah  sudah tidak ada!” katanya dengan nada keheranan.
“Apa dia sedang keluar?” tanyaku.
“Bukan Pak? Pak Asnali mah sudah meninggal. Sekarang sudah hampir seratus harinya.” katanya meyakinkan.
Innaalillaahi wa innaailaihiiraaji’uun…” kataku dengan penuh rasa haru dan iba, setelah mendengar kabar yang sangat menyedihkan itu, “Neng, tolong ya sampaikan kepada ibu, saya minta maaf karena tidak tahu bahwa bapak telah tiada. Saya hanya bisa berdo’a mudah-mudahan arwah beliau diterima di sisi Allah Swt, diterima iman Islamnya dan diampuni dari segala dosa dan kekhilapannya. Ibu bersama keluarga yang ditinggalkan mudah-mudahan diberi kesabaran dan ketabahan menerima cobaan yang berat ini. Amiin!” do’aku sambil menutup pembicaraan.
Rupanya, wisata rohaniku saat shalat Jum’at dulu tak perlu menunggu lama. Peristiwa yang mengenaskan itu benar-benar terjadi hanya beberapa bulan seteleh pertemuan terakhir kami. Peristiwa itu menimpa seorang pasien gagal ginjal yang baik hati, sahabat sejati sependeritaan kini telah tiada.
 

    Hidup Bersama CAPD makin PD

Kloning ginjal hanyalah impianku. Kenyatannya, masih ada jalan lain yang bisa lebih nyaman dari cuci darah. Ya, CAPD merupakan alternatif perbaikan kualitas hidup seorang penderita gagal ginjal kronik, selain cangkok (transplantasi) ginjal.
Banyak orang yang mencemooh dengan perkataan “CAPD, cape dech!” memang proses refill tiap hari 3 sampai dengan 4 kali membuat kita cape dech! Tapi jika dibandingkan dengan cuci darah yang menyita waktu banyak, karena jarak rumah ke tempat cuci darah yang jauh. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus km seperti rumahnya Pak Dadan. Jarak tempuh Pamijahan-Bandung, bukan waktu yang sedikit. Pak Agus, Pameungpeuk-Bandung. Luky, Tanggerang-Bandung, dan lain-lain.
Proses cuci darahnya 4 sampai dengan 5 jam tidak bisa bergerak ke mana-mana. Belum rasa sakit ditusuk-tusuk oleh jarum pistula yang besar. Sekali waktu terjadi kram karena terlalu banyak cairan yang ditarik mesin melebihi dari berat kering tubuh. Selain itu kalau terjadi drop, tensi yang tiba-tiba rendah, atau terlalu tinggi kemudian pingsan. Wah, rasanya lebih mengerikan. Lebih capek dech dibanding CAPD.
Beberapa bulan saja berat badanku kembali normal. Perubahan kondisi badan itu terasa sekali, dari 44 kg menjadi 56 kg dalam waktu 3 bulan. Berarti kenaikan berat badan yang signifikan. Dalam waktu 3 bulan bisa naik 12 kg. Hebat!
Memang diawal-awal CAPD ada beberapa masalah. Wajar, namanya juga masa-masa adaptasi. Pasti ada penyesuaian tubuh yang harus melalui proses.
Kendala pertama, daya tariknya cairan pengeluaran kurang. Penumpukan cairan pada tubuh yang membuat repot juga di dua minggu awal CAPD. Bengkak-bengkak di tubuh harus ditarik lagi memakai mesin cuci darah. Sabtu, 2 September 2006 terpaksa harus ditusuk lagi jarum pistula, untuk mengeluarkan 4,5 kg cairan di tubuh, (cuci darah bonus).
Setelah kejadian itu. Alhamdulillah, lancar. Setiap refill, mengalami selisih lebih volume cairan masuk dan keluar sampai akumulasi 1kg per hari. Pernah mengalami infeksi peritoneum. Dari hasil tes laboratorium cairan tanggal 30 Agustus 2006 terdapat 497 sel bakteri/virus, yang mengakibatkan cairan keruh dan banyak fibrinnya. Cairan pembuangan tidak kuning dan jernih. Sehingga volume cairan pun berkurang. Inilah yang mengakibatkan kaki dan badanku bengkak-bengkak.
Pemberian anti biotik “gentamicin” dimasukkan ke dalam bag cairan yang mau dipakai sebanyak 40 mg/2 lt dapat dengan cepat menanggulangi infeksi. Infeksi terjadi akibat dari kelalaianku mengganti cairan (refill) di atas mobil, banyak penumpang dan sedang macet di tengah jalan. Tempatnya tidak steril.
Hari keduanya, tiba-tiba badan menggigil dan cairan keruh banyak fibrinnya. Keesokan harinya, baru aku berobat ke RSKG.
Alhamdulillah, setelah kejadian itu sampai sekarang lancar-lancar saja, tidak ada kendala yang berarti. Kepalaku yang sering pusing, sekarang jarang terjadi. Obat-obat tensi yang harus selalu dikonsumsi selama 2 tahun sekarang sudah berkurang bahkan tidak sama sekali. Makan pun rasanya nikmat.
Aku sudah merasa nyaman dengan CAPD. Bisa bepergian jauh berhari-hari tanpa harus dibatasi waktu seperti saat cuci darah. Jika sudah tiba jadual cuci darah, aku mesti datang ke tempat cuci darah.
Sekarang, hanya tinggal membawa cairan sebanyak yang dibutuhkan selama bepergian. Penggantian cairan atau refill bisa dilakukan di mana saja, asal memenuhi syarat kebersihan dan cuci tangan.
Rasanya senang juga mendapatkan pelayanan dan jaminan kesehatan yang baik dari semua instansi. PT Askes yang memberikan fasilitas gratis 120 bag cairan untuk refill 4 kali per hari setiap bulan. Begitu pula terhadap produk Baxter yang berkualitas, steril dan praktis. Kalbe Farma sebagai perusahaan yang memasarkannya sudah membuktikan diri bisa bertindak professional, menunjukkan perhatian tinggi terhadap konsumennya. Pak Sutisna.H.SDJ. sebagai karyawan handal siap berkunjung ke rumah pasien untuk memberikan konsultasi gratis tiap bulan dan selama 24 jam siap dihubungi, apabila ada keluhan. Sekarang ia sudah pindah tempat kerjanya, tapi sudah diganti karyawan lain yang sama handal. PT Enseval Putera Megatrading Tbk. sebagai distributor tunggal di Indonesia siap mengantarkan produk Baxter ke seluruh pelosok tanah air, tempat konsumen berada dengan tepat waktu.
Subhanallah! Luar biasa jika kita tafakuri, kerepotan semua pihak untuk menanggulangi kerusakan ginjal seseorang, organ tubuh produk Allah Swt yang bentuknya sebesar kepalan tangan manusia, harus diganti dengan hal yang melibatkan ratusan bahkan ribuan orang yang terlibat dalam penyediaan alat dan bahan seperti tadi. Atau menggunakan mesin cuci darah yang ukurannya sebesar kulkas. Bukti empiris bahwa ilmu Allah Swt itu sangat tinggi. Allahu Akbar !
Ada juga pengalaman yang menyakitkan yaitu pada saat akhir bulan Ramadhan 1428 H, aku pergi ke Tasikmalaya untuk memproses pemesanan cairan dianeal CAPD ke PT. Enseval Putera Megatrading Tbk, sekalian berjalan-jalan dan shopping persiapan lebaran.
Anak istriku tengah berbelanja di pusat perbelanjaan kota Tasikmalaya. Pukul. 13.00 adalah saatnya jadual refill cairan. Aku menemukan tempat yang tepat, bersih dan ada mejanya yang berupa rak buku. Tempat itu adalah Musholla.
Aku mencari DKM sebagai pengurus Musholla itu untuk meminta izin, tapi tidak ada yang tahu. Mungkin orang-orang yang sedang shalat pun sama seperti diriku yang kebetulan singgah.
Setelah berwudhu, aku shalat Dzuhur, selesai shalat kemudian aku membuka ikat pinggang kantung kateter dan memasang twins bag dianeal cairan CAPD. Aku memilih sudut belakang Musholla, agar tidak mengganggu kekhusyuan orang yang sedang beribadah. Orang-orang yang selesai shalat dan akan shalat banyak yang melihatku dan menghujaniku dengan pertanyaan tentang CAPD. Sambil melakukan refill kujawab semua pertanyaan itu dengan penuh kesabaran.
Pengeluaran cairan selesai, tinggal pemasukan. Jadi hanya 10 menit lagi waktu yang aku butuhkan.
Tiba-tiba seorang pemuda menghampiriku dan mengusirku dari tempat itu, ”Bapak tahu ini tempat suci?”
Aku berusaha menjelaskan, namun dia terus saja ngotot.
“Di luar saja Pak! Jangan di dalam, itu kan air najis!” kata dia.
“Maaf, Saya tadi mencari Anda sebagai pengurus Musholla ini sebelum melakukannya untuk meminta izin. Tapi tidak ada yang tahu.” kataku berusaha menjernihkan situasi. “Saya tidak bisa melakukan refill ini di luar takut kotor kena debu nantinya, dan akibatnya infeksi. Kata dokter juga tidak boleh ada debu, agar terhindar dari infeksi. Saya jamin tidak ada setetes air pun yang akan mengotori Musholla ini, dan saya pun tahu ini tempat suci, tempat beribadah. Sebentar lagi akan selesai, tinggal 5 menit lagi.”
Pemuda itu rupanya belum paham.
 “Ginjal saya rusak. Cairan kuning ini bukan keluar dari tempat kencing, tapi dari perut saya. Nih, coba lihat sendiri!” sambil kuperlihatkan posisi kateter. Baru dia menganggukan kepala sembari menggeloyor meninggalkanku.
Pengalaman lain yang cukup menarik yaitu saat pulang dari RSKG setelah menjalani tes PET. Pada hari Kamis 26 Oktober 2006, aku harus menjalani tes PET. Suatu tes cairan buangan, agar bisa menentukan tingkat keberhasilan terapi pengganti ginjal dengan sistem CAPD. Aku merasa was-was tentang bagaimana nanti hasil PET tersebut. Hasratku untuk mencicipi buah durian begitu besar, tapi masih takut. Sambil menunggu hasi laboratorium, aku bersama istri berjalan-jalan dulu ke mall. Stand yang menjadi tujuan utamaku jelas, tempat buah-buahan. Tentu aku ingin segera menikmati harumnya dan lezatnya buah durian. Aku memaksa istriku untuk membeli buah durian yang sudah dikemas dalam plastik transparan.
Buah-buahan yang paling aku suka adalah durian. Makan durian merupakan hobyku sejak kecil. Tapi semenjak dinyatakan gagal ginjal kronik, aku tak pernah mencicipinya. Apalagi saat cuci darah aku harus diet buah dan sayuran karena terlalu tinggi kaliumnya. Hiper kalemia sudah terbukti sebagai penyebab utama kematian, minimal mengalami sesak nafas sehingga harus OT(over time) artinya harus menjalani cuci darah ekstra di luar jadual.
Istriku masih trauma dengan pengalaman pahit waktu aku masih cuci darah, ia tak mau kejadian sesak napas tiba-tiba terulang lagi, sehingga harus OT. Aku terus membujuknya, “Mih, pokoknya Mimih harus beli durian, ya… ! Bapak sudah tak tahan dengan keharumannya yang begitu menggoda. Sekarang, Bapak hanya akan menciumi harumnya saja sambil menunnggu hasil laboratorium diketahui. Nanti kalau sudah terbukti kalium darah Bapak normal, apa lagi kalau di bawah normal, Bapak akan memakannya. Tapi kalau hasil laboratorium menyatakan bahwa kaliumnya tinggi, Bapak tidak akan berani memakannya.”
            “Yakin, Bapak bisa tahan?” tanya istriku masih ragu.
            “Yakin!” kataku mantap.
            Tak lagi banyak basa-basi istriku langsung menyambar kemasan buah durian Montong yang dagingnya kelihatan kekuning-kuningan, besar-besar dan harum sekali, biasanya bijinya kecil-kecil begitu juga rasanya pasti manis, lezat dan nikmat.
            dr. Rusma belum bisa memberikan keterangan tentang hasil laboratoriumku. Namun dia berjanji akan segera mengabariku secepatnya lewat SMS, “Mungkin nanti sore hasinya Pak! Jika Bapak mau pulang silakan saja. Nanti saya kabari lewat SMS.” Akhirnya aku pun pulang ke Garut dengan harap-harap cemas.
            Hampir tiba waktu Ashar, perjalananku baru sampai kawasan Nagreg. Aku masih penasaran ingin segera mengetahui hasil laboratoriumku. Terutama ingin segera menikmati makan durian yang sudah di depan mata, karena kusimpan di atas deks boards. Segera kulayangkan sebuah SMS kepada dr. Rusma dengan harapan mudah-mudahan hasilnya sudah ada.
            Beberapa menit kemudian Hp-ku berbunyi sebagai tanda ada pesan baru yang diterima. Deg-deg plas jantungku saat membuka pesan singkat itu. “Pak Asep, sayang sekali hasil tes itu, kaliumnya rendah hanya 3,1. Jadi, Bapak tinggal makan buah aja yang banyak.” Begitu kalimat yang kubaca di layar Hp-ku.
            Pucuk di cinta ulam tiba, aku bersorak kegirangan. Kemasan plastik durian langsung kurobek dan kumakan isinya dengan penuh gairah. Nikmat yang beberapa bulan terakhir dicabut dari kehidupanku, kini sudah dikembalikan oleh Allah Yang Maha Pemberi Nikmat. Sujud syukurku kembali terulang saat beristirahat di mesjid Uswatun Hasanah, Nagreg.
Awal November 2007, aku mengikuti acara silaturahmi Halal Bil Halal pimpinan, seluruh karyawan dan pasien RSKG Ny. RA Habibie. Aku bisa bertemu kembali dengan teman-teman sependeritaan, walau sebagian sudah tiada atau tidak bisa hadir karena kondisinya sedang jelek. Hampir semua pasien menganggap akulah yang paling bugar. Ada hal yang membanggakan, apalagi setelah disuruh tampil oleh Prof. Enday agar aku membuka ikat pinggang tempat kateter CAPD dan menunjukannya kepada seluruh peserta yang hadir. Malah, aku sempat berseloroh, “Maaf, Prof! kalau di kampung saya sebelum saya memperlihatkan kateter ini, harus dicecep seperti anak sunat.” Hadirin tertawa.
Pada sesi akhir acara, aku juga terpilih sebagai pasien teladan. Alhamdulillah, ternyata diriku masih berguna bagi orang lain.
 Senin, 18 Februari 2008 baru saja aku ganti transferset yang ke tiga kalinya. Rekan-rekanku yang biasanya memiliki jadual cuci darah setiap hari Senin-Kamis sore semuanya tinggal 5 orang lagi, dari 17 orang pasien satu ruangan. Pak Kurnia, Luky, Ceu Eros, Bu Kartini dan aku sendiri. Berarti rekan sependeritaanku, seruangan dan sejadual sudah 12 orang yang berada tenang di alam baka. Pak Rukmana (Alm), Pak Asnali(Alm), Pak Agus Berlian (Alm), Ibu Dekan (Almh), dan kawan-kawan yang lainnya semoga mereka diterima iman Islamnya.
Memang tidak hanya yang cuci darah saja, yang CAPD juga ada yang sudah mendahului kami. Prof. Maman (Alm), Pak Sya’ban (Alm). Pak Barnas (Alm), Pak Otong (Alm), dan lain-lain.
Semoga yang masih bertahan hidup diberi umur panjang, lebih sehat, dan tetap selalu minum vitamin 4 S : Shalat, sabar, semangat, dan sehat baik bersama cuci darah maupun CAPD.
Sekarang aku bisa kembali bertugas pergi ke sekolah, walaupun hanya sebagai guru BP. Setelah aku dimuat di bulletin ginjal RSKG. Banyak yang menghubungiku lewat telepon, ada juga yang sengaja datang ke rumah untuk menanyakan masalah CAPD. Kini aku naik peringkat menjadi nara sumber CAPD bagi banyak orang, baik pasien cuci darah, keluarganya atau orang awam sekalipun.
Rasa percaya diriku timbul lagi setelah melalui proses hidup yang panjang. Depresi dan perasaan serasa tak berguna, sekarang hilang. Semakin PD hidup bersama CAPD. Aku tetap bangga menyandang gelar Asep CAPD atau Asep cape dech, bahkan ada yang menyebutkannya terbalik menjadi Asep CPAD.
Sekarang hari-hariku kian indah. Biarpun harus selalu disiplin menunaikan refill 4 kali sehari secara rutin dan kontinyu. Mudah-mudahan bisa menjadi bentuk ibadahku, ketundukkanku dan pengabdianku kepada Allah Swt, di samping shalatku yang 5 waktu. Mudah-mudahan jadi kifarat dosa-dosaku dan bisa mengantarku menggapai keridhoan-Mu. Amiin!