Sabtu, 24 November 2012

Perbandingan antara HD dengan CAPD


Perbandingan antara HD dengan CAPD
            Pasien Gagal Ginjal pada umumnya memilih terapi pengganti fungsi ginjal dengan cara Cuci Darah, istilah medisnya Hemodialisis (HD), karena dianggap lebih sederhana, praktis dan murah. Padahal sekarang para pasien di Negara-negara maju banyak yg sudah beralih ke CAPD, bahkan Negara tetangga saja sudah sejak tahun 1980-an mempraktekannya. Singapura, Thailand, Malaysia, Philipina, Cina dll. Di Negara tersebut para pasien yg baru divonis gagal ginjal kronis/terminal akan langsung dioperasi pasang cateter di perutnya agar bisa melakukan refil (isi ulang) cairan ke dalam perut. Bahkan cairan Dianeal yang merupakan kebutuhan pokok pasien CAPD di Indonesia pun sampai sekarang masih di impor dari Singapura.

Agar lebih jelas mengetahui perbedaan antara cuci darah (HD) dengan cuci perut (CAPD), silakan Anda perhatikan bagian berikut ini:

No.
Peri Hal
HD (Hemo Dialysis)  atau Cuci Darah

CAPD (Continues Ambulatory Peritoneum Dialysis) atau Cuci Perut
1
Fungsi
Menyaring racun darah dan mengeluarkannya bersama cairan tubuh, agar darah menjadi bersih.
Menyerap racun darah dan kelebihan cairan pada tubuh pasien dengan system difusi melalui membran peritoneum di dalam perut.
2
Proses
Darah dialirkan ke mesin penyaring racun melalui selang yang ditusukkan dengan jarum vistula pada urat nadi di pangkal paha (selangkangan jika belum memiliki Ave-shunt) untuk menyalurkan darah keluar dan satu jarum lagi di tangan untuk memasukkan darah yg sudah bersih. Jarum vistula bisa dipasang keduanya di tangan bila sudah operasi Ave-shunt.
Sebelum melakukan refill(isi ulang) pasien harus menjalani operasi pemasangan cateter di perut sebelah kanan. Melalui satu cateterlah cairan masuk dan keluar, karena cairan yg akan diisi sudah dilengkapi dg kantong yg kosong untuk pembuangan makanya disebut twinbag Dianeal yg hanya sekali pakai. Tidak membutuhkan mesin, karena hanya menggunakan gaya gravitasi baik untuk pengeluaran cairan, maupun pemasukkan cairan.

Tempat
Harus dilakukan di rumah sakit tertentu yang memiliki fasilitas ruangan khusus untuk hemo dialysis.
Dapat dilakukan di mana saja, asal bersih, baik di rumah, di dalam mobil bahkan di tempat wisata.

Waktu
Setiap kali cuci darah membutuhkan waktu selama 4 s.d.5 jam dalam periode 2 s.d. 3kali per minggu. Banyak tambahan waktu yang dibutuhkan untuk menunggu giliran, pemasangan alat dan pencabutan alat.
Satu kali refill hanya membutuhkan waktu 20 s.d. 30 menit, setiap hari sebanyak 3 atau 4 kali refill.

Menu Makanan dan Minuman
Makanan yang berkelium tinggi terutama santan, buah-buahan dan sayuran hanya diperbolehkan dalam porsi yang sangat kecil.Contohnya, sebuah apel Fuji hanya bisa dikonsumsi ¼ s.d. 1/3-nya satu kali dalam sehari. Volume air minum juga sangat terbatas. Sangat dianjurkan banyak makan protein.
Asupan gizi yg mengandung protein harus  dua kali lipat porsi makan orang sehat! Makan minum lebh bebas. Kita bisa memakan apel Fuji 2 s.d.3 buah per hari bahkan makan sayuran pun boleh. Lotek, karedok, rujak hiris, rujak ulek, rujak bebek, dll masih bisa kita konsumsi dalam porsi yang cukup, tetapi jangan berlebihan. Volume air minum bisa banyak disesuaikan dengan akumulasi cairan yang terserap dianeal setiap harinya.

Biaya
Biaya operasi Ave-shunt ( Cimino) untuk memperbesar pembuluh darah di tangan,transfort menuju tempat HD 2 s.d.3 kali per minggu besarnya tergantung jarak tempuh, biaya proses HD jika tak memiliki kartu jaminan Askes atau sejenisnya, juga obat-obatan.
Biaya operasi pemasangan carteter memang cukup tinggi sekitar 25 jutaan, tapi bagi peserta Askes tak jauh beda dengan pasang Ave-shunt, tak ada biaya transfor bolak-balik ke rumah sakit, paling sebulan sekali beli cairan sekitar 5 jutaan (peserta Askes gratis), obat-obatan yg dikonsumsi semakin berkurang, kecuali betadin, NaCl, kassa dan plester untuk dressing tutup execite.

Kebutuhan Tenaga Medis
Sangat membutuhkan bantuan tenaga medis yang professional, untuk memasang dan mencabut jarum vistula.Harus selalu dalam pengawasan perawat/dokter jaga, karena banyak resiko yang terjadi saat HD berlangsung.
Tidak membutuhkan bantuan tenaga medis yang professional, seperti dokter jaga dan perawat, karena bisa dilakukan sendiri atau bantuan anggota keluarga,setelah kita mengikuti pelatihan selama tiga hari.

Efek Samping/ dampak negatif
Sering mengalami kram akibat dehidrasi karena terlalu banyak cairan yg tersedot mesin, menggigil kedinginan, pusing, mual-mual, muntah, tensi ngedrop tiba-tiba, sesak napas bahkan sampai pingsan. Biasanya badan jadi lemas, karena terkuras energy dan saripati makanan dalam darah kita. Kehilangan nafsu makan,bahkan lidahpun mati rasa.  Esoknya badan masih terasa loyo. Lusanya baru mulai bertenaga lagi, itu pun kalau asupan gizinya bagus! Hari ke-3 atau ke-4 harus siap-siap HD lagi. Kulit akan semakin hitam, karena penumpukkan Fe di permukaan kulit yg tidak terbuang, gatal-gatal seluruh tubuh, osteoporosis, dan sulit tidur. Sisa fungsi ginjal semakin berkurang, akhirnya urine pun tak bisa keluar lagi. Kerja jantung semakin berat saat HD berlangsung, sehingga jantung pun beresiko tinggi mengalami gangguan. Jika terjadi uremia, sesak napas atau hiper kalemia harus cepat datang ke tempat HD, di mana pun dan kapan pun kita berada, jangan menunggu sampai esok harinya! Kalau tidak cepat diambil tindakan, maka akibatnya…..saya tak berani mengatakannya.  
Sekali-kali perut terasa kembung, gatal-gatal, pegal linu atau kurang tidur. Bisa juga mual-mual sampai muntah, karena hiper kalemia.
Jika  mengalami hiper kalemia, atau sesak napas akibat terlalu banyak minum, kita bisa mengatasinya dengan mempercepat waktu periode refil sehingga refill bisa dilakukan sampai dengan 5 kali. Agar kalium yang berlebih cepat terbuang.



Dampak Positif
Bisa mengeluarkan racun dalam darah dan kelebihan cairan di tubuh.
Selain bisa mengeluarkan racun dalam darah dan kelebihan cairan dalam tubuh, sisa fungsi ginjal akan lebih awet dipertahankan. Kerja jantung akan ringan,karena bukan darah yang terpompa jantung harus dikeluarkan dulu, sehingga mengurangi resiko serangan jantung. Badan akan terasa selalu lebih bugar dari pada saat HD. Nafsu makan stabil. Tensi darah semakin lama semakin mendekati normal yang pada akhirnya menjadi normal kembali dan tidak perlu mengkonsumsi obat penurun tensi. Permukaan kulit tidak kehitam-hitaman, karena tidak ada penumpukkan Fe.

           

            Mengapa pasien tidak memilih transplantasi (cangkok ginjal), agar bisa hidup normal kembali dan terhindar dari ketergantungan cuci darah seumur hidup? Alasannya, karena faktor ekonomi untuk penyediaan ginjal pengganti, operasi transplantasi, dan pemeliharaan masa adaptasi selama dua tahunan yg begitu tinggi. Bahkan resiko keberhasilannya yg fivety-fivety.


            Tulisan ini hanyalah untuk berbagi pengalaman, bukan berdasarkan kajian ilmiah secara medis, sehingga mungkin saja ada kekeliruan atau salah penulisan istilah mohon  maklum atas segala kekurangannya. Terima kasih! Mudah-mudahan menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua. Aamiin!

Jumat, 23 November 2012

GAGAL GINJAL


Bagi sahabat yang belum tahu, ni ane mau jelasin bagaimana penyakit Gagal Ginjal itu. Ginjal merupakan organ tubuh yang sangat vital. Biarpun bentuknya hanya sekepal tangan kita, tetapi memiliki fungsi yang begitu dahsyat bagi tubuh. Fungsi ginjal ada 4 :
1)      Mengeluarkan segala racun tubuh atau sampah cair.
2)      Pengatur tensi/ tekanan darah.
3)      Penghasil zat ephoitin yang sangat menentukan untuk pembentukan  sel darah merah.
4)      Pengatur cairan di dalam tubuh.
Keempat Fungsi tersebut, tidak bias dilakukan lagi sendiri melalui pembuangan urin jika sudah di vonis Gagal Ginjal, sehingga pasien akan mengalami : lesu, mual, sampai muntah-muntah, kepala pusing, bahkan serasa di tusuki berpuluh-puluh paku,dan seluruh persendian sakit. Jika cairan di dalam tubuh semakin banyak karena tidak seimbang dengan volume urin yang keluar, maka kaki pun akan bengkak-bengkak, seperti penderita kaki gajah. Penglihatan tidak jelas, bahkan komunikasi pun jadi ngawur seperti orang yang pikun bahkan bisa pingsan, jika kadar ureum dalam darah jauh diatas normal (ureumia).Bisa saja kaki diangkat keatas, tetapi nantinya cairan akan berpindah ke kepala yang membengkak. Kalau kaki dan kepala ditinggikan posisinya selagi tidur, maka jantung dan paru-paru akan terendam cairan. Akibatnya, pasien akan mengalami sesak napas yang hebat.
Solusinya hanya ada 3 alternatif :
1)      Transplantasi ginjal (cangkok ginjal)
2)      HD (Hemo Dialisis) yaitu cuci darah pakai mesin  secara kontinu, 2-3 kali seminggu seumur hidup. Hanya bias dilakukan di rumah sakit tertentu.
3)       CAPD (Continues Ambulantory Peritoneum Dialisis), makna sederhananya, cuci perut memakai cairan Dianeal secara kontinu, 3-4 kali perhari, seumur hidup. Bisa dilakukan sendiri di rumah.

Faktor- faktor penyebab Gagal Ginjal ialah :
1)      Kurang minum air putih setiap hari.
2)      Keracunan makanan/ minuman (berpewarna non pangan, pengawet, perasa buatan)  atau obat-obatan.
3)      Sering menkonsumsi minuman berenergi atau vitamin C dosis tinggi
4)      Penderita Hipertensi
5)      Penderita Diabetes

Hanya orang yang mendapatkan mukjizat dari Allah Yang Maha Kuasa yang bisa terlepas dari vonis Gagal Ginjal dan mereka yang dengan izin Allah bias transplantasi ginjal dengan sukses. Maka sayangilah ginjal Anda, selagi masih sehat! Karena Gagal Ginjal itu, penderitaan seumur hidup, yang tak kunjung sembuh. Bahkan semakin lama Anda menjalani terapi pengganti fungsi ginjal, baik HD maupun CAPD, semakin berkurang ketahanan tubuh Anda.

Selasa, 07 September 2010

Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal

Tanda Cinta

Cocobi ka diri
Sanes pamasihan ti Nini Aki
Tapi pamasihan ti nu Maha Suci
Tanda Cinta-Na nu sajati

Sabar..., tawakal...., ikhlas...,
kudu jadi pamatri ati
Sangkan hirup teu ngarasula tur jadi kifarat dosa!

Senin, 06 September 2010

SINOPSIS

Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal
     
     Di tengah perjalanan hidupnya sebagai seorang guru di sebuah SMP di Banyuresmi, kabupaten Garut, penulis yang dikenal rajin, penuh dedikasi, periang, sangat mencintai keluarga dan kuat mempertahankan aqidahnya, tiba-tiba penyakit yang dikenal dengan nama Gagal Ginjal Terminal atau Gagal Ginjal Kronik. Penyakit ini sangat ditakuti, karena belum ada obatnya. untuk mempertahankan hidup penderitanya harus dilakukan terapi ginjal pengganti berupa cuci darah(hemodialisis) atau cangkok ginjal.
     Kisah ini, benar-benar menceritakan autobiografi penulis dengan gamlang, sesuai dengan kejadian yang dialami penulis saat divonis mengalami gagal ginjal kronik, tentang penderitaannya, pencarian obat alternatif, pahit-getirnya menjalani cuci darah, keikhlasannya menerima cobaan, kecintaannya pada keluarga, semangatnya untuk terus bisa bertahan hidup, sampai Alloh memberikan jalan keluar,"Ginjal Cadangan"  berupa CAPD.
     CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau Peritoneal Dialisis Mandiri Berkesinambungan adalah pergantian cairan yang dimasukkan ke dalam perut seberat 2 kg, dilakukan secara rutin dan kontinu sebanyak 3-4 kali setiap hari, sebagai pengganti ginjal yang sudah rusak dan tidak berfrungsi.
     Karena keyakinannya atas cinta, kasih sayang dan pertolongan Alloh Swt semata, yang pada akhirnya menyelamatkan penulis untuk terus hidup dan semangat mempertahankan aqidah dari kemusyrikan dan mencari kesembuhan sampai menemukan sahabat setianya berupa CAPD. Penulis yakin dengan haqqul yakin, bahwa Allohlah sebagai penolong jiwanya dan hidupnya bertujuan hanya untuk mencari ridho Alloh Swt semata. Amiiiin!

     
 

Minggu, 05 September 2010

Gagal Cinta Pertama tak Separah Gagal Ginjal

Mungkin Anda akan tertawa membaca ungkapan tadi, terserah! Aku tidak akan peduli dengan tanggapan atau reaksi spontan Anda.Yang jelas, “Gagal Ginjal” bagiku adalah peristiwa yang menenggelamkan hidupku dalam penderitaan yang berkepanjangan tiada henti sampai akhir hayat.
Empat setengah tahun silam hidupku mulai kelam, Subhanallah ………………..
Berawal dari hasil tes laboratorium pada tanggal 20 Februari 2006 yang dianalisis oleh dr. John Manurung, SpPD. Ia menyatakan bahwa kadar racun yang bersarang dalam tubuhku terlalu banyak dan tidak bisa dikeluarkan lewat urine (air seni). Tak ada jalan lain kecuali Cuci Darah. Penyakit tersebut bernama Gagal Ginjal Terminal atau Gagal Ginjal Kronik (GGK)
Shock, stres, putus asa dan seabreg perasaan negatif menghimpit dada. Aku bersama istri tercinta terperangkap dalam situasi mencekam di hadapan dokter yang masih memberikan segala macam petuah dan nasihat. Sudah terbayang di benakku, sebelah kaki di atas kubur, karena aku tahu setiap orang yang telah mengalami cuci darah pasti ajalnya hampir menghampiri. Isak tangis kami berdua tak bisa menyelesaikan masalah.
Pulang dari RSU dr. Slamet Garut dengan perasaan hampa, hanya istriku yang masih bisa berpikir jernih. Dia berusaha menghubungi saudaranya, sahabatnya, kenalannya dan setiap orang yang mungkin lebih tahu atau pernah tahu tentang cuci darah dan pengobatan alternatif lainnya untuk penyakit gagal ginjal terminal.
Berbagai macam metode penyembuhan melalui obat, ramuan, pijat refleksi, elektrolisis, bekam, sampai menjadi konsumen dan anggota MLM ramuan modern dari Cina yang harganya mencapai 500 ribuan per-box pernah dicoba. Hasilnya nihil, bahkan tambah parah. Maksud untuk menghindari cuci darah tidak bisa dihindari.
Tubuhku semakin parah.Wajah, kaki dan hampir seluruh tubuhku bengkak. Kepala serasa ditusuk-tusuk ribuan paku. Seluruh persendian serasa mau lepas. Napas sesak, karena paru-paru hampir terendam cairan dan kerja jantung pun makin berat. Mual terus menerus sehingga muntah tak bisa di tahan. Badanku semakin lesu dan kehabisan energi.


Akhirnya aku pasrah berbaring disamping mesin cuci darah mulai tanggal 18 April 2006. Empat selang membelit tubuh, 2 selang cuci darah, 1 selang tranfusi darah dan 1 lagi selang oksigen untuk membantu nafas yang sudah sesak.
Dunia yang tadinya terasa gelap berangsur bersinar lagi. Nafas tidak lagi tersengal-sengal, jantung mulai berdetak normal, setelah 2 jam pertama menjalani cuci darah. Harapan hidup lebih lanjut pun  mulai tumbuh lagi, namun dalam limit waktu 3 – 4 hari, karena cuci darah itu harus dijalani secara kontinyu 2 kali dalam seminggu, seumur hidup.
Anda tahu batas waktu seumur hidup? Itulah yang jadi masalah bahwa, gagal cinta pertama tak separah gagal ginjal. Gagal cinta pertama tak merepotkan semua orang yang berada di sekitar Anda, tapi gagal ginjal bisa merepotkan seluruh keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan. Bahkan akibat lainnya karir Anda, jabatan dan masa depan suram menanti Anda! Anda harus siap dengan mental cadangan Anda, belum lagi materi, kantong yang sangat-sangat tebal harus Anda siapkan. Kita memang memiliki 2 buah ginjal, tetapi jika sudah dinyatakan gagal ginjal berarti keduanya sudah tidak bisa berfungsi. Sulit untuk mencari ginjal pengganti, tak ada super market yang menjual ginjal. Berbeda dengan gagal cinta pertama, kita masih bisa mencari cinta kedua, ketiga bahkan cinta terakhir yang biasanya lebih membahagiakan. Gagal ginjal belum ada obatnya, sedangkan gagal cinta ada obatnya, yaitu cinta terakhir.
 Mau tahu kelanjutan kisahnya?  Silakan baca kisah selanjutnya …!
 
Gelarku

Siapa yang mengira aku akan menderita GGK, tak seorang pun yang tahu, hanya Allah Swt lah yang Maha Mengetahui. Badanku segar, energik dan kuat. Sampai usia 39 tahun, karirku cerah. Di masa depan aku membayangkan bisa menjadi pejabat di Dinas Pendidikan, karena di usia sekarang pun aku sudah dipercaya sebagai Pembantu/Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, disamping tugas pokok mengajarkan Bahasa Indonesia dan Wali Kelas di kelas 3 SMP Negri 1 Banyuresmi, Garut.
Sejak aku menjadi guru honorer tahun 1988 sampai diangkat menjadi PNS dua tahun kemudian. Aku tak pernah pindah tempat tugas. Kegiatanku banyak sekali, selain mengajar juga selalu mencari penghasilan tambahan, obyekkan, di luar jam kerja. Kerja tambahanku apa saja, yang penting halal. Oleh karenanya, aku mendapat banyak gelar dari profesi tambahan itu, walaupun aku belum menjadi sarjana.
Mau tahu apa saja gelarku? Ini dia…………….
Yang pertama, Asep Rongsok. Gelar tersebut didapat karena di awal kehidupan berumah tangga, aku memulai dengan bisnis rongsokan. Mengumpulkan barang bekas lalu dijual. Tak ada rasa gengsi, yang penting dapur tetap mengepul. Semua barang bekas aku kumpulkan mulai dari kertas, dus, koran, plastik, besi tua, botol kecil sampai botol besar, dan sebagainya.
Rencanaku ingin menampung dan membuka lapangan pekerjaan bagi remaja di kampung sekitar tempat tinggalku. Tapi ternyata mereka terbelenggu dengan rasa gengsi. Berbulan-bulan bisnis ini berjalan, aku kerjakan sendiri dan tak ada seorang pun yang mau menjadi pemulung barang rongsokan.
Akhirnya bangkrut!
Yang kedua, Asep Cacing. Bisnis cacing menggiurkan. Aku beternak cacing-cacing itu sendiri di rumah, dan menjualnya ke pengumpul atau penampung. Memang aku berhasil di bisnis ini. Beberapa kali menjual cacing sehingga keuntungan berjuta-juta pun didapat. Namun sayang, terjadi booming dan kemacetan ekspor. Akhirnya gelar Asep Cacing tidak bertahan lama, walau aku berusaha memperpanjang usia bisnis ini dengan membuat jus cacing sebagai obat tifus, maag, panas dalam dan sakit gigi. Tapi tidak sampai jadi obat gagal ginjal saja.
Yang ketiga, Asep Camat. Dari gelar ini, hanya capek yang dirasakan. Aku harus bolak-balik mengawinkan kesepakatan harga antara penjual dan pembeli barang atau kendaraan bekas seharian. Bahkan ada yang berminggu-minggu rasa capek sirna begitu saja, jika telah mendapat keuntungan yang besar. Ya, itulah pekerjaan camat (calo matuh). Keuntungan didapat dari komisi yang besarnya tergantung pada kerelaan si penjual atau dari selisih harga yang disepakati bersama.
Yang keempat, Asep Ginjal. Sejak mengidap penyakit GGK inilah aku mendapat gelar Asep Ginjal, karena di daerahku terbilang jarang orang yang mengalami GGK ini. Gelar ini tidak bertahan lama, hanya kurang lebih 4 bulan saja. Dimulai sejak aku menjalani cuci darah pada April sampai Agustus 2006.
Selanjutnya gelar kelima dan terakhir adalah Asep CAPDCAPD akan kita bahas nanti, karena memiliki kisah tersendiri, oke?
Jangan heran! Mengapa aku menguraikan gelar /sebutan lain untuk diriku? Karena di tempat tinggalku, Kampung Cianten, Desa Sukamukti, Kecamatan Banyuresmi, Garut, terdapat sekitar 23 nama orang yang berawal dengan kata Asep. Jadi, kalau mencari nama Asep itu, harus komplit dengan kepanjangan namanya. Sebagai contoh nama Asep yang lain adalah: Asep Furqon, Asep Fitroh, Asep Nawawi, Asep Dani, Asep Dedi, Asep Saefullah, Asep Subarna, Asep Wawan dan masih banyak Asep yang lainnya.

Awal  Perkenalan Saya dengan Gagal Ginjal Kronik

Ini merupakan pembahasan yang sangat penting bagi siapa saja yang membaca tulisan saya, agar lebih bisa berhati-hati dan yang lebih penting adalah bisa mencegah daripada mengobati.
Peribahasa lebih baik mencegah daripada mengobati merupakan peribahasa yang tepat sekali. Orang yang mengalami sakit  kemudian berobat masih beruntung kalau sudah ada obatnya, tetapi sungguh malang nasibnya jika sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Maka dia akan menderita seumur hidup sampai ajalnya tiba sambil menderita penyakit yang dideritanya. Sungguh mengerikan, tetapi itulah penyakit yang dinamakan GGK (Gagal Ginjal Kronik) atau Gagal Ginjal Terminal.
Tiga tahun sebelum divonis GGK, aku sering merasa heran dengan urin (air seni) yang ke luar itu berbuih banyak sekali. Setiap buang air kecil, aku harus menyiram kloset minimal empat kali (empat gayung air). Kalau hanya dua atau tiga gayung, masih saja terdapat buih seperti sabun.
Hampir setiap malam badanku seperti orang yang masuk angin. Pegal-pegal di sekujur tubuh dan perasaan ngilu di otot. Badan akan terasa enak kalau telah diinjak-injak oleh anak atau istriku. Lebih enak lagi kalau dipijat dengan memakai minyak angin. Ploooong……sekali rasanya.
Setahun kemudian, keluhan bertambah dengan sering sakit kepala dan di bagian punggungku terdapat bintik-bintik hitam seperti bekas terbakar bara rokok. Rasanya agak gatal.
Pada akhir tahun 2004, aku merasakan nyeri yang hebat di perut bagian kanan. Dari hasil pemeriksaan dokter aku dinyatakan infeksi usus buntu (apendisitis). Usus buntu (apendiks) harus segera diangkat. Operasi berjalan lancar. Aktifitasku  berjalan normal kembali.
Kurang lebih enam bulan setelah operasi apendiks, rasa nyeri kembali singgah, sama seperti ketika dinyatakan aku menderita apendisitis. Nyeri yang sangat dahsyat. Aku tak bisa diam menahan rasa sakit, buah zakar rasanya seperti dipijat terus menerus. Setiap ingin buang air kecil terasa nyeri sekali. Aku tak tahan. Bukan urin yang keluar, malah darah dan airmata yang keluar.
Obat penghilang nyeri tidak ada yang mujarab, rasa nyeri terus mendera. Istriku sudah panik. Begitu juga orangtuaku, tetangga dan saudara-saudara. Mereka berdatangan melihatku yang bertindak seperti orang kesurupan, menjerit-jerit minta tolong.
Beruntung, sahabatku Mang Ujang dan Pak Jejen yang baik hati segera membawaku ke Rumah Sakit Guntur di Garut. Tim medis segera bertindak dengan memberi obat penghilang rasa nyeri melalui anus. Kaltopren, nama obat itu, bentuknya seperti peluru pistol.
Selama menanti reaksi itu, aku menjerit dan melolong-lolong dengan suara yang melengking tinggi mengucapkan “Allaahu Akbar!” Seluruh pasien yang berdekatan dengan ruang ICU pasti mendengar, padahal saat itu sudah hampir pukul 24.00
Alhamdulillah, kurang lebih 20 menit kemudian, obat yang diberikan itu bereaksi, rasa sakit yang menghunjam itu berangsur-angsur reda sampai tidak terasa lagi.
Besoknya aku menjalani pemeriksaan tes kesehatan. Rontgen, tes darah dan tes urin dilakukan. Hasilnya menerangkan tidak terlihat adanya batu pada ginjal ataupun saluran pembuangan lainnya. Namun kadar asam uratku agak lebih dari normal.
Aku pulang. Dokter hanya memberikan obat penghilang rasa sakit, peluruh batu dan penurun asam urat. Setelah sampai di rumah, adikku yang menengok menyarankan untuk mengkonsumsi obat asam urat terus sampai kadar asam uratku normal kembali serta melakukan tes urin lagi secara teratur. Tapi aku merasa malas untuk minum obat terus-terusan dan kembali periksa ke laboratorium ataupun dokter.
Beberapa bulan setelah kejadian itu. Kondisi kesehatanku menjadi fluktuatif, antara sehat dan sakit. Susah buang air kecil sering berulang, terutama kalau telah makan jeroan, emping, jengkol, petai, durian dan sayur asem yang pakai daun atau buah tangkil. Aku juga sering sekali sakit flu disertai demam, tetapi selalu diselesaikan dengan mengkonsumsi obat-obat bebas yang dijual di warung. Hampir setiap malam badanku yang pegal-pegal harus dipijat oleh anak dan istriku. Aku malas memeriksakan diri ke dokter, dan tak mempedulikan saran adikku dulu sewaktu baru pulang dari rumah sakit.
Pertengahan tahun 2005, aku menemukan obat asam urat yang dijual di toko obat, Ant namanya. Kapsul jamu asam urat Ant ini mujarab sekali. Rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum itu hilang sama sekali, sakit encok, rematik dan kawan-kawannya itu lewat begitu saja. Aku yang alergi dingin dan setiap hari harus mandi memakai air hangat, kembali bisa mandi memakai air dingin. Bahkan kembali bisa meronda malam, ikut kegiatan camping dengan anak-anak di sekolah dan seabreg kegiatan sekolah lainnya, walaupun harus menginap bermalam-malam di sekolah.
Adikku, Sumi Azizah, yang apoteker dan tinggal di Bandung beberapa kali datang ke rumah,  menegur dan memberitahuku bahwa obat Ant itu adalah obat illegal dan bukan obat herbal asli dari tumbuhan Ant, tetapi obat kimia anti nyeri dosis tinggi yang kalau dikonsumsi terus bisa berakibat fatal bagi ginjal. Dia berceramah dihadapanku berpuluh-puluh menit, dan melarangku minum obat tersebut.
Aku percaya dan sedikit ketakutan. Aku berhenti mengkonsumsinya sekitar dua minggu. Rasa sakit yang dulu, muncul lagi bahkan bertambah hebat. Aku tak tahan.
 Ant kembali menjadi teman hidupku saat itu. Hanya dengan minum kapsul itu, kehidupanku kembali berjalan normal, padahal mungkin saat itu ginjalku sudah mulai rusak.    


Tak Ada yang Lebih Pintar dari dr. Jhon Manurung

Hari Senin, 20 Februari 2006, badanku terasa lesu sekali, tak bergairah. Saat istirahat aku jajan kupat tahu. Jajanan favorit para guru sebagai kaum duafa. Karena murah meriah dengan uang seribu rupiah perut bisa kenyang. Kupat tahu Bu Oom yang biasanya terasa lezat, gurih dan nikmat kini terasa pahit di lidah. Aku heran. Aku berpikir, “Jangan-jangan tahunya pakai formalin, karena saat itu orang sedang heboh dengan tahu berformalin?” Aku sisihkan tahunya kemudian  aku makan ketupatnya tapi tetap saja ketupatnya juga terasa pahit. Aku tambah kaget. Kemudian  aku bercermin sambil menjulurkan lidah, penasaran dengan hilangnya rasa pencecap. Benar saja, lidahku  terlihat putih, diliputi jamur, bakteri, atau apalah aku tak mengerti. Yang jelas, biasanya orang yang sakit tifus kronis lidahnya seperti ini.
Aku bertambah kaget dengan kondisi lidah seperti orang sakit tifus, tapi badan tidak panas, hanya lesu saja. Aku tanya Pembina PMR, Ibu Siti.
Bu Siti menceramahiku agar segera memeriksakan diri ke dokter, “Pak Asep, Bapak itu sakit. Cepat periksa ke dokter. Jangan dibiarkan begini, agar cepat ketahuan penyebabnya dan cepat diobati!”
Sore hari aku pergi ke dokter umum di PUSKESMAS. Aku diberi obat.
Besoknya, aku kembali pergi ke sekolah. Selesai mengajar jam ke-2, aku ke toilet, karena ingin buang air kecil. Kencingku mampet lagi. Aku menyuruh penjaga sekolah untuk mengambil obat pencahar batu, “Kalkurenal”. Aku minum sesuai dosis. Wajahku sudah pucat, menahan rasa nyeri yang tak terperikan.
Rekan-rekan guru banyak yang menyuruhku pulang agar isirahat di rumah. Tapi aku masih bertahan. Aku sudah terbiasa kerja sampai sore. Jadi, aku tak biasa pulang ke rumah pagi-pagi atau siang-siang. Banyak tugas yang harus kukerjakan selain tugas mengajar pokok. Ada ekstrakurikuler dan les tambahan pelajaran untuk siswa kelas 3.
Menjelang Dzuhur aku ke toilet lagi. Alhamdulillah, saat aku kencing ada butiran batu yang keluar sebesar biji kacang kedelai. Walau rasa sakit yang tak terperikan saat keluar 4 butiran batu itu, tapi rasa plong yang melegakan dapat menjadi pelipur hati, setelah bolak-balik ke toilet, karena susahnya buang air kecil.
Hari itu aku lanjutkan tugasku sampai sore dengan memberikan les tambahan jam pelajaran bagi siswa kelas 3.
Pulang ke rumah badanku sudah terasa pening, mual dan nyeri persendian. Malam harinya badan mulai terasa demam dan kepala serasa hampir pecah.
Aku telepon Sumi, adikku yang berada di Bandung. Aku menerangkan segala gejala yang terasa. Dia langsung mencurigai ginjalku rusak dan menyarankan cek ke laboratorium sambil berobat ke dokter spesialis dalam, jangan ke dokter umum. Sejak hari Rabu, 22 Februari 2006, badanku ambruk tak bisa kemana-mana. Seluruh persendian terasa copot. Mual yang hebat bahkan lebih dahsyat dari sakit maag yang pernah kualami, kepala terasa dipaku. Aku bertahan di rumah sampai hari Minggu. Baru hari Senin aku pergi ke RSU Garut.
Dr. John Manurung menyuruhku agar melakukan tes urine, darah dan rontgen. Hasilnya, Kreatinin 7,57, Ureum 114, Asam urat 13,8, Hb 10,8. Aku dianjurkan agar diet protein dan buah-buahan. Dicoba selama 2 minggu, aku tidak boleh makan makanan yang berprotein dan buah-buahan. Aku hanya diperbolehkan makan dari golongan makanan karbohidrat saja.
Bisa anda bayangkan, lidahku yang kehilangan rasa malah tiap saat hanya boleh makan karbohidrat saja. Jadi, mulai saat itu aku sadar, bahwa kenikmatan hidupku sudah dikurangi oleh Allah Swt. Yang memiliki segala rasa nikmat. Tiap hari paling-paling aku makan nasi dengan kerupuk, ranginang, jagung beledug atau makan ubi Cilembu.
Dua minggu yang dijanjikan dokter sudah lewat. Aku memeriksakan diri lagi ke dr. John. Obat yang kuminum selama dua minggu hasilnya nihil. Aku harus menjalankan diet itu 2 minggu lagi.
Selain dari dr. John, aku juga kasak-kusuk ke sana-ke mari mencari alternatif lain. Berbagai jamu, ramuan obat tradisional sampai jamu herbal X, perusahaan top MLM terbesar di Cina, aku konsumsi. Habis jamu herbal X sampai Rp.2 juta, tidak ada hasilnya. Badanku malah sudah mulai bengkak-bengkak.
Tanggal 20 Maret 2006, aku memeriksakan diri lagi ke dr. Jhon Manurung. Hasil tes darah dari laboratorium dan USG, dr. John memvonis bahwa ginjalku mengalami pengerutan/pegecilan volume ginjal. Aku harus menjalani cuci darah!
 Masih terngiang di telingaku  ketika dr. John berkata,” Bapak harus sabar, begitu juga Ibunya, karena Bapak harus menjalani cuci darah di Bandung. Beruntung, Bapak punya Askes, kalau orang lain belum tentu. Tindakan Bapak sudah tepat datang kepada saya. Tolong jangan percaya kepada orang lain yang mengaku lebih pintar dari dr. John.” kata-katanya begitu tandas dan meyakinkan.
Aku dan istri masih tak percaya dengan keputusan dokter bahwa aku harus cuci darah, walaupun doker menyarankan agar cepat mengambil keputusan.
Bumi terasa gelap, dada sesak, otak tak bisa lagi berpikir logis. Perasaan hampa. Kematian rasanya sudah dekat. Mata sembab, bengkak dan merah. Badanku lesu, lunglai tak bertenaga, cemas resah, rasa bersalah, rasa berdosa dan segala rasa nyeri, yang tak bisa lagi terperikan dengan kata-kata. Aku tak bisa menyanggupi perintah dokter, agar aku menjalani cuci darah.
Datang ke rumah pun sama, perdebatan sengit terjadi antara istri, orang tua, adik-adik, anak-anak dan sahabat-sahabatku. Mereka semua tak percaya kalau aku harus cuci darah.
Aku masih bertahan dengan menkonsumsi obat X, karena janjinya bisa menyembuhkan penyakit ginjal. Tapi saat aku kontak semua distributor sampai ke pusat yang ada di Jakarta dan aku tanyakan, “ Siapa orangnya yang sudah divonis gagal ginjal dan menjalani cuci darah bisa sembuh dengan obat X tersebut ?”. Ternyata tak ada seorang pun yang bisa membuktikannya. Seandainya ada seorang pasien gagal ginjal yang sudah sembuh, maka akan aku kejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Untuk membuktikan dan meyakinkan diriku yang sudah mulai gundah gulana.
Akhirnya tanggal 5 April 2006, aku cek darah lagi di laboratrium, ternyata kadar racun di tubuh malah bertambah menjadi Kreatinin 7,81, Ureum 142, Asam Urat 14,6, dan Hb 5,0. Aku sudah tak tahan dengan rasa sakit dan pasrah untuk menjalani cuci darah. Aku meminta tolong kepada istriku agar menemui lagi dr. John untuk meminta surat rujukan ke Bandung dan segala persyaratan Askes lainnya. Tekadku sudah bulat, cuci darah!
Benar saja, sabda dr. John, “Jangan percaya kepada siapapun di sekelilng Anda, jika ada yang mengaku-ngaku lebih pintar dari dr. John!” terbukti. Tiap orang yang memberikan solusi dan obat untuk gagal ginjal dari sahabat, kerabat dan orang-orang dekat lainnya tak ada yang mujarab. Berarti aku harus mempercayai dr. John. Saat ini, satu-satunya obat hanyalah cuci darah.

Jurig

Sesaat sebelum pergi ke Bandung, Sumi Azizah adikku, menyarankan agar mencoba berobat ke dr.Rully Roesli, ahli ginjal, untuk menghabiskan rasa kepenasaran. Usulan tersebut akhirnya disepakati juga. Kami berangkat ke Bandung pada hari Jumat, 7 April 2006.
Baru saja duduk, dr. Rully sudah mempertanyakan mengapa aku baru datang berobat kepadanya, padahal seharusnya 3 tahun yang lalu. “Anda seharusnya datang kepada saya 3 tahun yang lalu!”, katanya.
Aku heran,” Kok, dokter tahu bahwa saya ini sakit sejak tiga tahun lalu?”.
“Saya sudah pengalaman, dengan cara melihat Anda berjalan dan melihat wajah Anda saja, saya sudah tahu bahwa penyakit Anda itu sudah diderita sejak 3 tahun yang lalu. Ya, karena berdasarkan dari pengalaman itulah kadang-kadang seorang dokter tindakannya seperti dukun, bisa meramal”, begitu dia menjawab pertanyaanku sambil tertawa terbahak-bahak.
Ruangan dr. Rully yang luas, bersih, adem, harum dan diiringi musik yang mengalun merdu komplit dengan sikapnya yang ramah, murah senyum bisa memberikan rasa optimis.
Aku disarankan minum obat dulu selama 2 minggu.
Bukan hanya aku yang merasa gembira, tapi juga istri, anak-anak, orang tua, adik-adik dan sahabat-sahabatku. Wajah yang sudah kebingungan, stress, was-was mendengar keputusan dr. Rully yang demikian sedikit melegakan, walaupun resepnya hampir Rp.700 ribu.
Obat dari dr. Rully yang seharusnya aku minum untuk 2 minggu, ternyata tidak mampu mengubah keadaan. Badanku makin loyo, wajah sudah bengkak, mata memerah, kepala sakit tak terperikan lagi, mual terus-menerus. Baru 10 hari, aku memaksa kembali lagi pergi ke tempat dr. Rully berpraktek di Perisai Husada.
Senin 17 April 2006, pukul 20.00 WIB, aku adukan seluruh keluhanku kepada dr. Rully. Dia memeriksaku dengan teliti. Napasku sudah terengah-engah. Mata terasa buram dan menonjol ingin meloncat dari kelopaknya. Detak jantung serasa tak beraturan lagi. Denyut nadi di leher terasa meletup-letup. Kepala rasanya mau pecah seperti gunung berapi yang mau meletus.
Selesai memeriksa dr. Rully malah memberikan lagi resep. Aku masih sempat berpikir, buat apa lagi resep? Obat yang sepuluh hari lalu saja, mahalnya bukan main, tapi hasilnya tidak ada sama sekali. Malah tambah parah.
 Adik dan istriku yang selalu setia mendampingi, diam saja. Aku protes dan tak mengerti akan tindakan dokter seperti itu. Akhirnya dengan segenap keberanian dan sisa-sisa akal sehat, aku bertanya juga, “Maaf,Dok! Apakah dengan resep yang Dokter berikan, sakit saya bisa sembuh? Kemarin juga dengan resep dari dokter yang seharusnya 2 minggu, malah hanya bisa bertahan 10 hari !”.
dr. Rully tidak menjawab langsung, dia merogoh laci mejanya dan mengeluarkan setumpuk kartu berobat. “Lihat ini,Pak!”, jawabnya, “Ini katu berobat pasien saya sejak tahun 1993 sampai sekarang. Berarti kurang lebih sudah 13 tahun dia berobat kepada saya 2 minggu sekali, rutin”.
“Sampai sekarang belum sembuh? Bagaimana keluhannya hilang?” aku memberondong dengan pertanyaan, karena penasaran.
“Nah, ini dia Pak! Sampai sekarang, ya, masih berobat. Keluhannya tetap ada.”
“Jadi, bagaimana dengan saya?”, kataku yang sudah tak sabar.
“Begini, Pak! Bapak tahu jurig * ?”
“Tidak..!”
“Tapi sering bukan, mendengar kata  jurig ?”
“Ya..!”
“Bapak takut kan sama jurig ?”
“Tidak..! Sejak kecil juga saya tidak takut.”
“Bagus! Biasanya orang mendengar kata jurig saja, dia itu sudah takut, walaupun dia belum pernah bertemu atau melihat jurig. Nah, hal ini seperti kata cuci darah. Orang barat kalau Kreatinin darahnya baru 3 saja sudah cuci darah, karena yang normal itu cuma 1 kadar kreatinin darahnya. Orang Asia, walaupun Kreatininnya sudah mencapai 8, dia datang ke dokter, masih memohon agar tidak menjalani cuci darah. Hanya minta makan obat saja. Jadi, orang Asia jika mendengar kata cuci darah itu seperti mendengar kata jurig. Takut, padahal kalau dia cuci darah mungkin bisa lebih baik.”
“Oh, jadi Dokter menganggap saya takut untuk menjalani cuci darah? Saya tidak takut, Dok! Kalaulah memang cuci darah itu jalan satu-satunya, ya sudah! Saya minta surat pengantar saja untuk menjalani cuci darah.”
dr. Rully tersenyum, kemudian berkata,”Nah, itu yang saya harapkan. Jadi, saya akan mengganti resep ini dengan surat pengantar. Mau di mana Anda menjalani cuci darah?”
“Di RS Al-Islam By Pass saja, Dok! Biar dekat dari Garut.” kataku.
“Oke, saya buat surat pengantarnya, ya! Saya sarankan Anda jangan lupa minum Vitamin 4 S saja!”
“Apa Dok?Vitamin 4 S itu?”
“Vitamin 4 S itu adalah : Shalat, Sabar, Semangat, dan Sehat bersama cuci darah.
Harus selalu diingat,ya! Anda itu orang normal dan sehat, hanya bersama cuci darah.”
“Ya, ini suratnya. Selamat menjalani dunia baru!” kata dr. Rully sambil tersenyum puas.

* Jurig artinya hantu.

Perkenalan dengan Evi Arpan

Rumah Sakit Al-Islam yang menjadi tujuanku untuk menjalani cuci darah ternyata tidak bisa menerima pasien baru, karena jadualnya sudah penuh dan fasiltas mesinnya terbatas. Adikku yang mengurus segala persyaratan, surat-surat dan prosedur yang harus ditempuh terpaksa beralih tempat.  Aku mengetahui hal itu setelah dia selesai mengurus segalanya di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny.R.A.Habibie Jalan Tubagus Ismail, Bandung.
Jadual yang ditentukan oleh pihak rumah sakit adalah hari Rabu dan Sabtu sore, padahal hari itu, Selasa, 18 April 2006 . Kalau aku harus menunggu sampai besoknya lagi, mungkin kisah hidupku tamat sampai di situ, karena aku sudah tak tahan. Kepalaku selalu tertunduk tak tahan menahan nyeri di tengkuk, mata rasanya mau lepas, susah membuka kelopak mata, kaki susah melangkah, sekujur tubuh bengkak-bengkak, napasku pendek-pendek. Otakku tak bisa lagi berpikir waras. Aku pasrah dengan segala keputusan Allah yang menguasai jiwaku. Apapun yang terjadi aku sudah pasrah. Dzikirku hanya bisa diucapkan di dalam hati, “Subhaanallah, walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallaahuakbar” tak lepas. Batinku menjerit memohon kepada Allah agar penderitaanku segera berakhir.
Seluruh keluargaku sudah panik. Hanya adikku, Sumi, dia menyuruh aku agar segera menghubungi Evi Arpan.
Siapa Evi Arpan itu?
Dia adalah pasien gagal ginjal yang sudah banyak makan asam garamnya masalah cuci darah. Kebetulan tempat tinggalnya hanya sekitar 500 m, tidak jauh dari rumah adikku, Nurbayani Saleha di Saibi, Cijerah, Bandung sebagai tempat persinggahanku sementara, selama berobat di Bandung.  
Saat itu juga Evi Arpan diundang ke rumah adikku untuk dijadikan nara sumber sekaligus gambaran bagiku dan seluruh keluargaku yang siap menyimak segala materi pengalaman hidupnya selama cuci darah kurang lebih 17 tahun itu.
Sungguh suatu prestasi luar biasa, ketabahan, ketawakalan, kesabaran, kegetiran, kengerian dan semangat hidup yang susah untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Evi Arpan, seorang pemuda yang telah memberikan inspirasi dan keteladanan hidup bersama cuci darah sejak berusia 16 tahun. Dia mampu melanjutkan sekolah ke SMA, kuliah, sampai kemudian bekerja layaknya orang yang sehat sebagai Tata Usaha di salah satu Madrasah Aliyah di Kota Bandung.
Andaikan kutuliskan kisah hidupnya, mungkin tidak akan selesai 3 atau 4 bulan, karena berjuta pengalaman yang pernah ia lalui.
Biarpun tubuhnya yang kecil, tangannya yang rusak, urat nadinya yang membengkak melintang sebesar jari seperti kue tambang yang melilit di kedua tangannya, bekas dua kali operasi AV shunt atau Cimino dan beribu-ribu tusukan jarum pistula. Namun wajahnya yang kehitaman itu masih memancarkan semangat hidup yang tinggi.
Oke! Aku angkat topi padanya.
Dari seorang Evi Arpan aku mendapatkan suntikan segar vitamin semangat hidup. Evi, dia masih bujangan. Tidak ada yang menjadi tanggungannya, tapi dia masih terus memiliki semangat hidup yang tinggi. Akhirnya tersadar kembali, aku masih memiliki tanggung jawab membesarkan dan mendidik anak-anakku yang masih kecil. Keempat anakku masih membutuhkan figure seorang ayah. Apalagi Si Bontot, Cici, biasa ia dipanggil, anakku yang paling kecil dan saat itu baru berusia 1 tahun. Dialah anakku yang paling lucu,  yang memotivasiku untuk bangkit lagi dari ketidak berdayaan. Aku jadi malu di hadapan Allah Swt.
Atas saran Evi, bahwa aku harus segera menjalani cuci darah saat itu juga. Dia tahu persis kondisiku. Dia bilang, “Pak! Bapak harus hari ini juga cuci darah. Jangan menunggu sampai besok! Saya khawatir Bapak tidak akan bertahan, karena racun di tubuh Bapak sudah banyak sekali, harus segera dikeluarkan.”
“Ya, memang saya pun sudah tak tahan. Tadi malam juga sudah tak bisa tidur sama sekali. Badan sudah serasa remuk. Tapi bagaimana caranya bisa cuci darah sekarang? Jadual saya harus besok sore”.
“Oh, bisa Pak! OT saja!” jawab Evi.
Aku heran tak mengerti, “OT?” pertanyaanku singkat.
“Ya, OT. OT itu cuci darah diluar jadwal yang ditentukan, hanya harus memberikan biaya tambahan sebesar Rp 100.000,00 sekali cuci. Kapan pun Bapak mau, pasti dilayani asal telpon dulu Mas Kamto yang mengurus jadualnya”. Evi menerangkan dengan penuh semangat.
Belakangan, baru aku mengerti bahwa OT itu singkatan dari over time, artinya cuci darah di luar jadual yang sudah ditentukan.
Saat itu juga aku langsung menghubungi Mas Kamto penentu kebijakan masalah jadual cuci darah di Rumah Sakit Khusus Ginjal Ny. R. A. Habibie, Bandung. Alhamdulillah, terjadi kesanggupan menerimaku untuk cuci darah pukul 15.00.
Hampir seluruh keluargaku  menumpahkan tangis bahagia, karena telah ada jalan keluar saat kondisi badanku sudah kritis.
Pada pukul 14.00 kami berangkat dari Saibi, Cijerah ke Tubagus Ismail menuju RSKG Ny. R.A. Habibie.
Pelayanan pertama yang sungguh mengesankan, karena keramah-tamahan segenap karyawan RSKG mulai dari satpam, cleaning service, perawat sampai dokter yang menanganiku semuanya baik, sopan, ramah, selalu tersenyum juga memberikan pelayanan dan perawatan professional terbaik. Di samping sentuhan lembut para perawat, penuh perhatian saat mendengarkan keluhan pasien dan kecekatan mereka merawat pasien bisa aku rasakan. Begitu datang di gerbang pagar depan RSKG, satpam sudah menyambut dengan anggukan kepala dan senyum yang ramah. Ada juga satpam yang segera menyodorkan kursi roda pada saat aku turun dari mobil. Kemudian mendorong dan mengantarkanku sampai ruang tunggu di lantai II. Beberapa saat kemudian aku dipersilakan memasuki ruangan yang luas, terdiri dari 17 tempat tidur yang mengelilingi meja dokter dan perawat.
Aku berbaring di atas ranjang yang otomatis bisa ditinggikan atau direndahkan sesuai keinginan atau sandarannya yang mau diatur berapa derajatnya, dengan menggunakan remote controle. Beberapa meter di atas kepala ada AC yang membuat pasien lebih nyaman. Dengan posisi ranjang yang berderet dan bersebrangan dengan pasien lain, juga tersedia fasilitas hiburan, beberapa TV kabel yang siap memberikan hiburan untuk sekedar mengusir rasa kesal berjam-jam terbaring saat cuci darah.
Saat itu, aku sudah sulit bernafas. Maka dokter segera memberikan oksigen. Sampel darahku diambil untuk membeli 2 labu darah ke PMI. Mesin EKG dipasang untuk memeriksa jantungku. Hasilnya, jantungku masih baik, tapi aku disarankan memakai cuci darah system karbonat, bukan asetat. Aku belum begitu mengerti tentang perbedaan keduanya.
Mas Slamet dan perawat lainnya yang selanjutnya menanganiku. Jarum pistula siap dipasang di selangkangan kaki kiri untuk mengeluarkan darah yang dialirkan ke mesin penyaring, kemudian darah segarku yang mengalir itu akan dimasukkan lagi pada pembuluh darah di tangan kiri. Sebelum menusukkan jarum pistula, di selangkangan diberi injeksi anestesi lokal dulu agar tidak terlalu sakit, karena jarum pistula itu besar sekali dan harus berjam-jam terbenam di selangkangan.
Wow! Tusukan pertama jarum itu membuat mataku yang sudah redup langsung terbelalak. Aku pun merintih, menjerit, menahan sakit yang sampai ke ulu hati. Tusukkan yang menyelamatkan hidupku. Tusukan yang menyalakan harapan dalam kegelapan masa depanku.
Pukul 17.00 WIB, Selasa, 18 April 2006 kisah hidup pertama kali berkenalan dengan mesin cuci darah.
Bunyi kretek-kretek mesin cuci darah diselingi bunyi alarem peringatan serta kilatan lampu merah yang berkelip-kelip kalau terjadi sesuatu yang salah harus dinikmati selama 2 jam. Selanjutnya akan berlangsung kontinyu setiap hari Selasa dan Jum’at  dan berangsur-angsur limit waktu bertambah menjadi 3 jam sampai 4 jam pada saat cuci darah yang ke dua dan ke tiga.
Kepala yang tadinya terasa berat berangsur-angsur ringan. Pandangan yang asalnya terasa buram, bahkan hampir gelap mulai terasa terang lagi, napas pun terasa ringan. Badan mulai terasa segar setelah 2 jam cuci darah dan mendapat tranfusi 2 labu darah. Tapi rasa nyeri yang hebat harus terulang saat jarum pistula di selangkangan harus dicabut kemudian bekas tusukan jarum yang besar itu harus di tekan dengan kuat sekitar 15 menit, agar urat nadi yang bolong bekas tusukan tidak memuncratkan darah dan lubangnya tertutup lagi. Begitu juga bekas tusukan jarum di tangan kiri, sama, harus ditekan dulu 15 menit agar mengering.
Jangan bertanya bagaimana rasanya! Anda bayangkan saja sendiri!
Selesai sudah, pengalaman pertama cuci darah yang sangat menakutkan, apa yang dikatakan dr.Rully seperti bertemu “jurig” itu aku alami. Aku pulang lagi ke Cijerah, rumah adikku yang pertama, Nurbayani Saleha yang berprofesi sebagai Ibu Panti Sosial Asuhan Anak Nurul Ihsan. Aku sadar betul bahwa kondisiku masih sangat lemah jika harus kembali ke Garut. Dan aku sadar betul bahwa cuci darah ini baru permulaan yang harus aku jalani seumur hidupku, minimal 2 kali seminggu secara rutin dan kontinyu.
Mampukah aku bertahan hidup dengan cuci darah? Entahlah, hanya Allah Swt Yang Maha Mengetahui segalanya.